Pengajaran Akidah dan Syari'ah di Sekolah Umum
Setiap pembahasan tentang pendidikan Islam biasanya disertai dengan suatu pertanyaan "Materi, sitem dan metode pendidikan apakah yang dapat dikatakan bersumber dari ajaran Islam, dan yang sekaligus dapat diterapkan dalam kehidupan kontemporer?" Tulisan ini ingin menjawab pertanyaan tersebut, khususnya dalam masalah akidah dan syari'ah, yang dihubungkan dengan kebenaran dan perkembangan materi ajaran agama serta kerukunan umat beragama.
Adapun pokok-pokok pikiran yang akan dikemukakan dalam tulisan ini adalah:
Kenyataan yang ditemukan dalam masyarakat adalah, walaupun materi yang disajikan bersumber dari Al-Quran dan hadis, namun ia telah disusun sedemikian rupa untuk disesuaikan dengan sistematika ilmiah. Disadari atau tidak, persesuaian itu telah melucuti segi-segi ruhaniah dan aqliahnya---suatu hal yang selalu mengiringi materi yang disajikan Al-Quran dan hadis. Sehingga, pada akhirnya, walaupun berhasil, kita hanya berhasil melahirkan "ilmuwan-ilmuwan di bidang agama", bukan "agamawan-agamawan yang berilmu".
Dari kenyataan seperti itu, maka tidak heranlah kalau para anak didik---bahkan, pendidik sendiri---merasa kesulitan dalam memahami petunjuk-petunjuk syariat Islam, apalagi melaksnakannya. Hal ini dapat menimbulkan tuntutan-tuntutan pembaruan yang tidak sejalan dengan ketetapan dan nilai-nilai Islam.
Apa yang dikemukakan di atas menuntut agar materi pendidikan agama disajikan dengan menjelaskan hikmah al-tasyri'-nya. Ini diusahakan dengan tujuan agar anak didik dapat memahami dan menghayati sebab dan manfaat yang diperoleh, tentu setelah materi-materi yang disajikan itu telah dipertimbangkan secara masak.
Seperti telah diuraikan di atas, materi-materi pelajaran agama yang didambakan adalah yang menguraikan kebenaran ajaran agama sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan sekaligus mendorong terwujudnya kerukunan hidup antarumat beragama. Dengan kata lain, ia berusaha mewujudkan kerukunan yang tidak mengakibatkan pendangkalan atau kekaburan ajaran, sebagaimana tidak pula terjadi uraian kebenaran ajaran yang mengakibatkan terganggunya kerukunan.
Bertitik tolak dari pandangan di atas, saya berpendapat bahwa materi-materi yang dirinci dan diharapkan untuk dikemukakan dalam tulisan ini, sebagian masih perlu dipertahankan dan dikembangkan, dan sebagian lagi wajar bila ditinggalkan.
Butir-butir (a), (b) dan (c), tentang hukum kafir bagi penganut ajaran Trinitas dan hukuman haram bagi wanita Muslim yang kawin dengan pria kafir, merupakan hal-hal yang perlu disajikan untuk anak didik. Hanya saja, penyajian tersebut hendaknya dikaitkan dengan penjelasan bahwa para penganut ajaran Trinitas tidak disebut "kafir" oleh Al-Quran, melainkan disebut "Ahl Al-Kitab". Dan bahwa larangan (diharamkannya) wanita Muslim kawin dengan pria kafir sangat berkaitan erat dengan masa depan ketenteraman jiwa anak-anak, di samping keharmonisan kedua insan tersebut yang idealnya menganut agama yang sama. Dengan kata lain, larangan bukan disebabkan karena perbedaan, tetapi dampak dari perbedaan itu sendiri.
Butir (d), tentang diperbolehkannya memerangi orang murtad, menurut hemat saya, seharusnya tidak dijadikan materi pembahasan. Ini bukan saja karena para ahli keislaman masih berbeda pendapat terhadap masalah ini, tetapi juga karena manfaat mengetahuinya tidak banyak. Bahkan, sebaliknya, bila butir ini dipahami secara keliru, bahwa "kebolehan" tersebut berlaku bagi setiap orang, maka akibatnya akan lebih berbahaya bagi stabilitas keamanan.
Butir (e), tentang diharamkannya seorang kafir menjadi pemimpin, saya cenderung menghilangkannya dari materi pelajaran agama sampai tingkat SMA. Tetapi, kalaupun ia masih dianggap sesuai diajarkan, maka hendaknya penyajiannya harus utuh dan, paling tidak, menggarisbawahi dua hal. Pertama, arti "kafir" dalam Al-Quran tidak hanya terbatas pada non-Muslim, tetapi termasuk di dalamnya pelaku perbuatan yang bertentangan dengan tujuan agama.[5] Karenanya, paling tidak ditemukan lima arti kafir dalam Al-Quran,[6] yang pengejawantahannya sangat beragam. Kedua, sebab larangan pengangkatan tersebut dan batas-batasnya tidak dipahami secara jelas:[7] apakah larangan bekerja sama, mengikat perjanjian, atau bahkan menaruh kepercayaan dalam suatu persoalan.[8].
Butir (f) tentang tiadanya agama di sisi Allah selain Islam, menurut saya, perlu disajikan sebagai materi pelajaran. Hanya saja, penjelasannya harus disertai dengan penjelasan tentang arti "Islam" dalam ayat tersebut. Dan bahwa bagi seorang Muslim, ungkapan tersebut harus dipahami sebagai sikap internal. Sedangkan sikap eksternal, dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, digambarkan dalam firman Allah berikut ini:
Katakanlah (wahai Muhammad): "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi?" Katakanlah: "Allah, dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat, dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat." Katakanlah: "Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dialah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui." (QS 34: 24-26)
Salah satu dari keempat materi di atas, yaitu masalah aurat, merupakan materi yang membutuhkan penyelesaian yang berani dan bijaksana. Kajian tentang maksud ayat-ayat dan hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah ini sangat dibutuhkan oleh seluruh umat Islam. Jika telah ditemukan dan disepakati, maka kaidah-kaidah yang memberikan keringanan atau yang membolehkan pelanggarannya---karena darurat atau kebutuhan mendesak---haruslah disertakan dalam materi. Bahkan prinsip-prinsip ajaran Islam yang memberikan kemudahan-kemudahan, seperti yang digarisbawahi Al-Quran bahwa Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan, harus disertakan pula dalam materi ajaran agama.
Dalam hal bersuci dan shalat, kita memuji keberanian Syaikh Nadim Al-Jisr, seorang Mufti Lebanon dan anggota Pusat Kajian Islam Mesir (Majma' Al-Buhuts Al-Islamiyyah). Dalam pertemuan Pusat Kajian Islam Mesir II (1965), ia mengatakan: "Untuk menyadarkan pemuda-pemudi yang meninggalkan shalat akibat kesulitan yang mereka hadapi dalam bersuci, kita berkewajiban untuk memudahkan mereka bersuci dengan atau tanpa air pada saat adanya halangan, agar mereka merasa mudah dalam melaksanakan shalat dan terbiasa dengannya. Shalat inilah yang kelak menghalangi mereka melakukan pelanggaran dan kekejian, sebagaimana ia pula yang kelak menghalangi mereka bertayamum tanpa alasan yang dibenarkan. Hal ini lebih baik daripada meninggalkan shalat. Demikian pula, ada baiknya kita mempermudah mereka menjamak dua shalat di saat ada halangan, dengan bersandarkan pendapat kepada pendapat ulama Hanafi yang membolehkannya."[9]
Pendapat terakhir ini sama dengan pendapat Syaikh Muhammad 'Abduh. Bahkan, sebagaimana diceritakan oleh Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, beliau secara pribadi mengamalkannya.[10]
Syaikh Ahmad Hasan Al-Baquri, mantan Rektor Al-Azhar dan Menteri Waqaf dan urusan Al-Azhar di Mesir, berpendapat bahwa wanita yang memakai pewarna kuku (nail polish) tidak diharuskan menghilangkannya sebelum bersuci. Pendapat ini dianalogikan dengan pendapat Imam Malik yang tidak mengharuskan pemakai cincin yang sempit untuk melepaskannya ketika berwudhu, walaupun air tidak menyentuh bagian jari yang ditutupi cincin tersebut.[11]
2. Lihat lebih jauh Abu Halim Mahmud, Al-Islam wa Al-‘Aql; dan Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah.
3. Muhammad Al-Ghazali, Aqidah Al-Muslim, Dar Al-Kutub Al-Hasitsah, Kairo, 1965, h. 9.
4. Ibid., h. 10.
5. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, IV, Dar Al-Manar, Kairo, 1367 H, h. 54.
6. Arti-arti tersebut adalah: (1) tidak mengakui kebenaran ajaran Muhammad saw. (QS 2:2, 6); (2) tidak mengamalkan ajaran Islam (QS 2:3, 85); (3) tidak mensyukuri nikmat Tuhan (QS 14:4, 7); menolak untuk merestui sesuatu (yang bertentangan dengan agama sekalipun) (QS 60:4); (5) menutupi, baik tanah dengan benih (petani) (QS 57:20), maupun nikmat-nikmat Tuhan (tidak mengolahnya) (QS 16:112).
7. Lihat Muhammad Rasyid Ridha, op. cit., h. 81.
8. Ibid., III, h. 277.
9. Al-Mu’tamar Tsani li Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyyah, Al-Azhar, 1965, h. 347.
10. Muhammad Rasyid Ridha, Tarikh Al-Ustadz Al-Imam, Al-Manar, Kairo, 1951, h. 6.
11. “Al-Mar’ah wa Ramadlan,” dalam Jaridat Al-Jumhuriyyah, 12 Januari 1965.
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, halaman 184-188.
Adapun pokok-pokok pikiran yang akan dikemukakan dalam tulisan ini adalah:
- Dalam bidang akidah: (a) Julukan kafir bagi yang mengatakan bahwa Isa itu Tuhan; (b) Julukan kafir bagi orang yang mengatakan bahwa Tuhan itu tiga; (c) Hukum haram bagi wanita Muslim yang kawin dengan pria kafir; (d) Bolehnya memerangi orang murtad dan menghalalkan darahnya; (e) Diharamkannya orang kafir menjadi seorang pemimpin; dan (f) Tidak ada agama di sisi Allah selain Islam.
- Dalam bidang syari'ah: bersuci, aurat, shalat, dan zakat.
Sifat Penyajian Materi Pendidikan Islam
Seperti diketahui, agama Islam menuntut agar manusia dididik dengan segala totalitasnya (jasmani, akal dan jiwa) tanpa perbedaan dan pemisahan, dan sedapat mungkin disajikan secara simultan. Hal ini terlihat jelas dalam materi-materi yang disajikan Al-Quran dan hadis. Uraian-uraiannya tidak hanya sekadar menyentuh jiwa, tetapi juga diiringi dengan argumentasi-argumentasi logis, atau yang dapat dibuktikan sendiri oleh manusia (anak didiknya) melalui penalaran akalnya. Dengan ini, manusia akan merasa diajak berperan dalam menemukan, memiliki dan bertanggung jawab untuk memeliharanya.[1]Kenyataan yang ditemukan dalam masyarakat adalah, walaupun materi yang disajikan bersumber dari Al-Quran dan hadis, namun ia telah disusun sedemikian rupa untuk disesuaikan dengan sistematika ilmiah. Disadari atau tidak, persesuaian itu telah melucuti segi-segi ruhaniah dan aqliahnya---suatu hal yang selalu mengiringi materi yang disajikan Al-Quran dan hadis. Sehingga, pada akhirnya, walaupun berhasil, kita hanya berhasil melahirkan "ilmuwan-ilmuwan di bidang agama", bukan "agamawan-agamawan yang berilmu".
Dari kenyataan seperti itu, maka tidak heranlah kalau para anak didik---bahkan, pendidik sendiri---merasa kesulitan dalam memahami petunjuk-petunjuk syariat Islam, apalagi melaksnakannya. Hal ini dapat menimbulkan tuntutan-tuntutan pembaruan yang tidak sejalan dengan ketetapan dan nilai-nilai Islam.
Apa yang dikemukakan di atas menuntut agar materi pendidikan agama disajikan dengan menjelaskan hikmah al-tasyri'-nya. Ini diusahakan dengan tujuan agar anak didik dapat memahami dan menghayati sebab dan manfaat yang diperoleh, tentu setelah materi-materi yang disajikan itu telah dipertimbangkan secara masak.
Materi Bidang Akidah
Secara umum, para ahli keislaman mengakui bahwa materi-materi yang ditemukan dalam berbagai akidah (teologi) tidak sepenuhnya lagi relevan dengan kondisi masa kini.[2] Materi-materi tersebut diambil oleh generasi demi generasi. Sedangkan penulisnya pertama kali dipengaruhi oleh situasi sosial dan politik ketika itu, yang tergambar dalam superioritas pemerintahan dinasti-dinasti yang "mewakili" umat Islam, dan pertikaian kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menimbulkan kedengkian dan perselisihan di antara mereka.[3] Ekses-ekses negatif dari hal tersebut masih terasa hingga kini. Ia, antara lain, tergambar dalam kata-kata "kafir" yang terlontar ke kanan dan ke kiri seperti bola.[4] Hal ini menimbulkan berbagai pendapat yang jauh dari jiwa ajaran agama, bahkan menimbulkan kesalahpahaman terhadap istilah-istilah Al-Quran dan hadis.Seperti telah diuraikan di atas, materi-materi pelajaran agama yang didambakan adalah yang menguraikan kebenaran ajaran agama sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan sekaligus mendorong terwujudnya kerukunan hidup antarumat beragama. Dengan kata lain, ia berusaha mewujudkan kerukunan yang tidak mengakibatkan pendangkalan atau kekaburan ajaran, sebagaimana tidak pula terjadi uraian kebenaran ajaran yang mengakibatkan terganggunya kerukunan.
Bertitik tolak dari pandangan di atas, saya berpendapat bahwa materi-materi yang dirinci dan diharapkan untuk dikemukakan dalam tulisan ini, sebagian masih perlu dipertahankan dan dikembangkan, dan sebagian lagi wajar bila ditinggalkan.
Butir-butir (a), (b) dan (c), tentang hukum kafir bagi penganut ajaran Trinitas dan hukuman haram bagi wanita Muslim yang kawin dengan pria kafir, merupakan hal-hal yang perlu disajikan untuk anak didik. Hanya saja, penyajian tersebut hendaknya dikaitkan dengan penjelasan bahwa para penganut ajaran Trinitas tidak disebut "kafir" oleh Al-Quran, melainkan disebut "Ahl Al-Kitab". Dan bahwa larangan (diharamkannya) wanita Muslim kawin dengan pria kafir sangat berkaitan erat dengan masa depan ketenteraman jiwa anak-anak, di samping keharmonisan kedua insan tersebut yang idealnya menganut agama yang sama. Dengan kata lain, larangan bukan disebabkan karena perbedaan, tetapi dampak dari perbedaan itu sendiri.
Butir (d), tentang diperbolehkannya memerangi orang murtad, menurut hemat saya, seharusnya tidak dijadikan materi pembahasan. Ini bukan saja karena para ahli keislaman masih berbeda pendapat terhadap masalah ini, tetapi juga karena manfaat mengetahuinya tidak banyak. Bahkan, sebaliknya, bila butir ini dipahami secara keliru, bahwa "kebolehan" tersebut berlaku bagi setiap orang, maka akibatnya akan lebih berbahaya bagi stabilitas keamanan.
Butir (e), tentang diharamkannya seorang kafir menjadi pemimpin, saya cenderung menghilangkannya dari materi pelajaran agama sampai tingkat SMA. Tetapi, kalaupun ia masih dianggap sesuai diajarkan, maka hendaknya penyajiannya harus utuh dan, paling tidak, menggarisbawahi dua hal. Pertama, arti "kafir" dalam Al-Quran tidak hanya terbatas pada non-Muslim, tetapi termasuk di dalamnya pelaku perbuatan yang bertentangan dengan tujuan agama.[5] Karenanya, paling tidak ditemukan lima arti kafir dalam Al-Quran,[6] yang pengejawantahannya sangat beragam. Kedua, sebab larangan pengangkatan tersebut dan batas-batasnya tidak dipahami secara jelas:[7] apakah larangan bekerja sama, mengikat perjanjian, atau bahkan menaruh kepercayaan dalam suatu persoalan.[8].
Butir (f) tentang tiadanya agama di sisi Allah selain Islam, menurut saya, perlu disajikan sebagai materi pelajaran. Hanya saja, penjelasannya harus disertai dengan penjelasan tentang arti "Islam" dalam ayat tersebut. Dan bahwa bagi seorang Muslim, ungkapan tersebut harus dipahami sebagai sikap internal. Sedangkan sikap eksternal, dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, digambarkan dalam firman Allah berikut ini:
Katakanlah (wahai Muhammad): "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi?" Katakanlah: "Allah, dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat, dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat." Katakanlah: "Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dialah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui." (QS 34: 24-26)
Materi Bidang Syari'ah
Materi-materi seperti bersuci, aurat, shalat, dan zakat merupakan materi yang harus disajikan kepada anak didik sedini mungkin. Dan tentu saja penyajiannya harus sejalan dengan metode yang digunakan Al-Quran sambil menekankan hikmah al-tasyri' (hikmah di balik penetapan suatu hukum keagamaan) yang dapat dijangkau pemikiran mereka.Salah satu dari keempat materi di atas, yaitu masalah aurat, merupakan materi yang membutuhkan penyelesaian yang berani dan bijaksana. Kajian tentang maksud ayat-ayat dan hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah ini sangat dibutuhkan oleh seluruh umat Islam. Jika telah ditemukan dan disepakati, maka kaidah-kaidah yang memberikan keringanan atau yang membolehkan pelanggarannya---karena darurat atau kebutuhan mendesak---haruslah disertakan dalam materi. Bahkan prinsip-prinsip ajaran Islam yang memberikan kemudahan-kemudahan, seperti yang digarisbawahi Al-Quran bahwa Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan, harus disertakan pula dalam materi ajaran agama.
Dalam hal bersuci dan shalat, kita memuji keberanian Syaikh Nadim Al-Jisr, seorang Mufti Lebanon dan anggota Pusat Kajian Islam Mesir (Majma' Al-Buhuts Al-Islamiyyah). Dalam pertemuan Pusat Kajian Islam Mesir II (1965), ia mengatakan: "Untuk menyadarkan pemuda-pemudi yang meninggalkan shalat akibat kesulitan yang mereka hadapi dalam bersuci, kita berkewajiban untuk memudahkan mereka bersuci dengan atau tanpa air pada saat adanya halangan, agar mereka merasa mudah dalam melaksanakan shalat dan terbiasa dengannya. Shalat inilah yang kelak menghalangi mereka melakukan pelanggaran dan kekejian, sebagaimana ia pula yang kelak menghalangi mereka bertayamum tanpa alasan yang dibenarkan. Hal ini lebih baik daripada meninggalkan shalat. Demikian pula, ada baiknya kita mempermudah mereka menjamak dua shalat di saat ada halangan, dengan bersandarkan pendapat kepada pendapat ulama Hanafi yang membolehkannya."[9]
Pendapat terakhir ini sama dengan pendapat Syaikh Muhammad 'Abduh. Bahkan, sebagaimana diceritakan oleh Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, beliau secara pribadi mengamalkannya.[10]
Syaikh Ahmad Hasan Al-Baquri, mantan Rektor Al-Azhar dan Menteri Waqaf dan urusan Al-Azhar di Mesir, berpendapat bahwa wanita yang memakai pewarna kuku (nail polish) tidak diharuskan menghilangkannya sebelum bersuci. Pendapat ini dianalogikan dengan pendapat Imam Malik yang tidak mengharuskan pemakai cincin yang sempit untuk melepaskannya ketika berwudhu, walaupun air tidak menyentuh bagian jari yang ditutupi cincin tersebut.[11]
Catatan Kaki
1. Lihat Abu Al-Karim Al-Khatib, Qadhiyat Al-Uluhiyyah bayn Al-Din wa Al-Falsafah, III, Dar Al-Fikr, Kairo, 1962, h. 319.2. Lihat lebih jauh Abu Halim Mahmud, Al-Islam wa Al-‘Aql; dan Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah.
3. Muhammad Al-Ghazali, Aqidah Al-Muslim, Dar Al-Kutub Al-Hasitsah, Kairo, 1965, h. 9.
4. Ibid., h. 10.
5. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, IV, Dar Al-Manar, Kairo, 1367 H, h. 54.
6. Arti-arti tersebut adalah: (1) tidak mengakui kebenaran ajaran Muhammad saw. (QS 2:2, 6); (2) tidak mengamalkan ajaran Islam (QS 2:3, 85); (3) tidak mensyukuri nikmat Tuhan (QS 14:4, 7); menolak untuk merestui sesuatu (yang bertentangan dengan agama sekalipun) (QS 60:4); (5) menutupi, baik tanah dengan benih (petani) (QS 57:20), maupun nikmat-nikmat Tuhan (tidak mengolahnya) (QS 16:112).
7. Lihat Muhammad Rasyid Ridha, op. cit., h. 81.
8. Ibid., III, h. 277.
9. Al-Mu’tamar Tsani li Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyyah, Al-Azhar, 1965, h. 347.
10. Muhammad Rasyid Ridha, Tarikh Al-Ustadz Al-Imam, Al-Manar, Kairo, 1951, h. 6.
11. “Al-Mar’ah wa Ramadlan,” dalam Jaridat Al-Jumhuriyyah, 12 Januari 1965.
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, halaman 184-188.
0 Response to "Pengajaran Akidah dan Syari'ah di Sekolah Umum"
Posting Komentar