-->

DAKWAH KEAGAMAAN

Dakwah keagamaan dalam perkembangannya telah mengalami berbagai perubahan bentuk, cara, dan penekanan. Dahulu, pemaparan ajaran agama dititikberatkan pada usaha mengaitkan ajaran-ajaran­nya dengan alam metafisika, sehingga surga, neraka, nilai pahala, dan beratnya siksaan mewarnai hampir setiap ajakan keagamaan. Setelah sekian banyak ilmuwan Barat mempertanyakan kandungan Kitab Suci (Perjanjian Lama) berdasarkan hasil-hasil temuan ilmiah, dan sikap mereka itu dihadapi dengan tidak bijaksana oleh para agamawan, maka dakwah keagamaan (Islam) – antara lain terdorong oleh kekhawatiran yang tidak beralasan – berusaha sedapat mungkin, secara benar atau keliru, membuktikan keterkaitan antara ajaran agama dengan perkembangan ilmu.

Dalam dua atau tiga dekade terakhir ini, aktivitas keagamaan pada umumnya ditandai oleh usaha menghubungkan antara ajaran agama dan pemba­ngunan masyarakat. Dalam hal ini, ajaran agama diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk le­bih berpartisipasi dalam pembangunan, sambil membentengi penganut-penganutnya dari segala ma­cam dampak negatif yang mungkin terjadi akibat pembangunan.

Kecenderungan di atas terjadi hampir di seluruh negeri Islam. Di Indonesia hal serupa juga terlihat, walaupun belum mencapai seluruh pelosok tanah air. Bahkan di ibukota negara masih biasa terdengar uraian-uraian keagamaan yang tidak sejalan dengan kecenderungan tersebut.

Marilah kita mengambil contoh dari uraian-uraian menyangkut hijrah yang di sana-sini masih terdengar. Uraian-uraian tersebut dapat kita bagi dalam dua kategori. Pertama, uraian yang bersifat supranatural, seperti “merpati” dan “sarang laba-laba” yang tiba-tiba menutupi mulut gua tempat Nabi saw. bersembunyi, “daun-daun” yang serta-merta le­bat di sekeliling gua, dan lain-lain yang tidak semua­nya dapat dipertanggungjawabkan dari segi riwayat, lebih-lebih dari segi ilmiah. Kedua, uraian yang men­dukung pembangunan masyarakat, seperti “persiap­an dan perencanaan” dalam berbagai segi, “sikap-­sikap Nabi saw. dan Abu Bakar r.a.” selama dalam perjalanan, “kerjasama Nabi” dengan penunjuk jalan yang “non-Muslim”, dan sebagainya.

Uraian-uraian kategori pertama bila berulang ulang diperdengarkan atau ditekankan, sama sekali tidak mendukung peranan yang diharapkan dari agama dalam pembangunan. Ia bukan saja mengecil­kan upaya dan jerih payah Nabi sebelum dan pada saat berhijrah, tetapi ia juga mengaburkan sejarah bahkan ajaran agama. Sebagaimana pernah saya katakan bahwa “Islam tidak mengandalkan hal-hal supranatural dalam pembuktian ajarannya dan dalam mencapai cita-cita perjuangannya”, walaupun pada hakikatnya ini tidak berarti pengingkaran dari “uluran tangan Tuhan”. Ia pernah, masih akan, dan selalu akan ada, tetapi ia tidak akan diperoleh dengan sekadar percaya, doa, atau bahkan pelaksanaan syariat saja. Para sahabat yang sangat mendambakannya dan yang telah dipimpin langsung oleh Nabi, pernah tidak memperolehnya karena mereka gagal meme­nuhi syarat-syaratnya.

Menjelang berkecamuknya Perang Uhud, Allah SWT berpesan: Apabila kamu sabar, bersiap siaga dan bertakwa (melaksanakan tuntunan Allah menyangkut syariat dan sunnatullah) maka jika mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah membantu kamu dengan lima ribu malaikat yang me­makai tanda (QS 3:125). “Turunnya malaikat” adalah peristiwa supranatural dan merupakan sebagian dari “uluran tangan Ilahi” yang pernah mereka peroleh dalam Perang Badar (QS 8: 12). Ia sangat didam­bakan oleh para sahabat bersama Nabi Muhammad saw. dalam Perang Uhud, namun mereka tidak memperolehnya. Mereka kalah dalam peperangan. Rupa­nya syarat-syarat yang ditetapkan Tuhan – ketika itu – tidak mereka penuhi.

Kembali kepada dakwah kita dewasa ini. Rupa­nya kita masih harus banyak belajar memilih dan memilah materi-materi dakwah. Kalau tidak, mung­kin, diam lebih bermanfaat daripada bicara.

Lentera Hati: M. Quraish Shihab
comments

0 Response to "DAKWAH KEAGAMAAN"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel