MEMPERDENGARKAN AYAT-AYAT ALLAH
Washil bin Atha’ (699-748 M), pemimpin aliran Mu’tazilah, suatu aliran dalam Islam yang memberi peranan besar kepada akal, suatu ketika bersama rombongannya memasuki daerah yang didominasi oleh kelompok Khawarij, suatu kelompok ekstrem yang sering mengkafirkan sesama Muslim bahkan tidak segan membunuh. Semboyan mereka adalah “Tiada hukum kecuali dari Allah”.
Rombongan Washil bin Atha’ gelisah, namun dengan tenang Washil tampil berkata: “Perlakukanlah kami sesuai petunjuk Allah dalam Al-Quran!”
“Siapa kalian?” tanya kelompok Khawarij.
“Kami adalah orang-orang musyrik,” sahut Washil.
Kelompok ekstrem itu menyadari bahwa Al-Quran menegaskan: Jika seseorang di antara orang musyrik meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia mendengar firman Allah, kemudian antarlah ia ke tempat yang aman baginya (QS. 9:6).
Benar juga dugaan Washil. Mereka diterima bahkan dilindungi dan dijamu kemudian diantar ke tempat tujuan.
Kisah yang bisa ditemukan dalam banyak literatur keagamaan ini saya dengar kembali dari salah seorang ulama dalam kunjungan saya ke Jambi untuk menghadiri Musda Majelis Ulama Indonesia. Ulama Jambi ini mengomentari keluhan dan saran seorang peserta tentang kehadiran para wisatawan asing. “Para wisatawan asing membawa sikap dan nilai yang berbeda bahkan bertentangan dengan nilai agama dan budaya kita. Sebaiknya kita tidak menyambut mereka,” demikian keluhan dan saran dari salah seorang peserta.
Harus diakui, keluhan itu ada benarnya, dan tidak jarang sebagian kita ikut terbawa arus, tapi untuk sarannya, kita perlu mempertimbangkan lebih lulu. Benar bahwa kita tidak boleh terbawa arus, tidak juga menyuguhkan sesuatu yang dapat membawa dampak negatif terhadap agama dan budaya kita, tetapi itu bukan berarti kita dilarang menyambut mereka. Benar bahwa tidak wajar kita menghidupkan tradisi lama yang usang. Namun, kita pun harus ingat bahwa wisatawan adalah tamu-tamu kita.
Benar bahwa batin harus merasakan ketidaksetujuan terhadap sikap yang bertentangan dengan nilai-nilai kita. Tetapi, kita pun harus sadar bahwa Nabi saw. pernah bersabda: “Sesungguhnya kita bermuka manis di hadapan orang-orang, sedangkan hati kita mengutuk mereka”, Nabi juga bersabda: “Siapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya hendaklah ia menghormati tamunya.“
Al-Quran Surah Al-Taubah ayat 6 di atas, berpesan agar kehadiran musuh yang mengharapkan perlindungan harus diterima dengan baik. Itu merupakan kesempatan “memperdengarkan firman Allah kepada mereka”, demikianlah ayat tersebut. Hanya saja, ini tentu bukan berarti bahwa kaum Muslim harus berlomba-lomba mengeraskan suara kaset pengajian di waktu fajar. Karena seandainya pun mereka jaga atau terjaga, mereka tidak mengerti, di samping yang demikian itu dapat mengganggu bukan saja para wisatawan, tetapi juga bayi-bayi, orang-orang sakit, bahkan mereka yang sehat tetapi masih membutuhkan sedikit tidur sebelum berakhirnya subuh.
Rombongan Washil bin Atha’ gelisah, namun dengan tenang Washil tampil berkata: “Perlakukanlah kami sesuai petunjuk Allah dalam Al-Quran!”
“Siapa kalian?” tanya kelompok Khawarij.
“Kami adalah orang-orang musyrik,” sahut Washil.
Kelompok ekstrem itu menyadari bahwa Al-Quran menegaskan: Jika seseorang di antara orang musyrik meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia mendengar firman Allah, kemudian antarlah ia ke tempat yang aman baginya (QS. 9:6).
Benar juga dugaan Washil. Mereka diterima bahkan dilindungi dan dijamu kemudian diantar ke tempat tujuan.
Kisah yang bisa ditemukan dalam banyak literatur keagamaan ini saya dengar kembali dari salah seorang ulama dalam kunjungan saya ke Jambi untuk menghadiri Musda Majelis Ulama Indonesia. Ulama Jambi ini mengomentari keluhan dan saran seorang peserta tentang kehadiran para wisatawan asing. “Para wisatawan asing membawa sikap dan nilai yang berbeda bahkan bertentangan dengan nilai agama dan budaya kita. Sebaiknya kita tidak menyambut mereka,” demikian keluhan dan saran dari salah seorang peserta.
Harus diakui, keluhan itu ada benarnya, dan tidak jarang sebagian kita ikut terbawa arus, tapi untuk sarannya, kita perlu mempertimbangkan lebih lulu. Benar bahwa kita tidak boleh terbawa arus, tidak juga menyuguhkan sesuatu yang dapat membawa dampak negatif terhadap agama dan budaya kita, tetapi itu bukan berarti kita dilarang menyambut mereka. Benar bahwa tidak wajar kita menghidupkan tradisi lama yang usang. Namun, kita pun harus ingat bahwa wisatawan adalah tamu-tamu kita.
Benar bahwa batin harus merasakan ketidaksetujuan terhadap sikap yang bertentangan dengan nilai-nilai kita. Tetapi, kita pun harus sadar bahwa Nabi saw. pernah bersabda: “Sesungguhnya kita bermuka manis di hadapan orang-orang, sedangkan hati kita mengutuk mereka”, Nabi juga bersabda: “Siapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya hendaklah ia menghormati tamunya.“
Al-Quran Surah Al-Taubah ayat 6 di atas, berpesan agar kehadiran musuh yang mengharapkan perlindungan harus diterima dengan baik. Itu merupakan kesempatan “memperdengarkan firman Allah kepada mereka”, demikianlah ayat tersebut. Hanya saja, ini tentu bukan berarti bahwa kaum Muslim harus berlomba-lomba mengeraskan suara kaset pengajian di waktu fajar. Karena seandainya pun mereka jaga atau terjaga, mereka tidak mengerti, di samping yang demikian itu dapat mengganggu bukan saja para wisatawan, tetapi juga bayi-bayi, orang-orang sakit, bahkan mereka yang sehat tetapi masih membutuhkan sedikit tidur sebelum berakhirnya subuh.
Memperdengarkan firman Allah untuk mereka adalah menunjukkan sikap yang dianjurkan oleh firman Allah, seperti keramahtamahan, kejujuran, ketepatan waktu, kebersihan, dan lain-lain. Inilah hal-hal yang dapat mereka mengerti.Lentera Hati: M. Quraish Shihab
0 Response to "MEMPERDENGARKAN AYAT-AYAT ALLAH"
Posting Komentar