Hari Raya Korban: Ajakan Membunuh Sifat-Sifat Kebinatangan Kita
Hari Raya Korban berkaitan erat dengan ibadah haji yang acara-acara ritualnya berkaitan erat pula dengan Nabi Ibrahim a.s. Beliau adalah seorang nabi yang sangat diagungkan oleh agama-agama samawi, antara lain, karena kesediaannya mengorbankan putra kesayangannya hanya karena Allah.
Manusia telah mengenal korban sejak dini, bahkan sejak putra-putra pertama Adam a.s. Pada masa Nabi Ibrahim dan sebelumnya, manusia seringkali menjadikan manusia sebagai korban (sesajen) kepada tuhan-tuhan atau dewa-dewa yang mereka sembah.
Tetapi, ini bukan berarti mempertahankan tradisi pengorbanan, karena setelah pisau dihujamkan dan digerakkan untuk menyembelih sang anak sebagai korban, tiba-tiba seekor domba dijadikan penggantinya. Hal ini sekaligus member isyarat bahwa Tuhan sedemikian kasih kepada manusia sehingga korban manusia tidak diperkenankan.
Dalam kehidupan kita pada abad modern ini, nilai-nilai peristiwa korban Nabi Ibrahim tersebut sering terlupakan. Masih cukup banyak praktik yang mengarah kepada mengorbankan manusia walaupun untuk mencapai tujuan-tujuan yang tidak luhur – bahkan kadang keji – dan semata-mata hanya memenuhi ambisi dan kerakusan.
Peristiwa-peristiwa yang dialami Ibrahim yang puncaknya dirayakan sebagai Idul Adha atau Hari Raya Korban, harus mampu mengingatkan bahwa yang dikorbankan tidak boleh manusia tetapi sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia, semacam rakus, ambisi yang tak terkendali, menindas, menyerang, dan tidak mengenal hukum dan norma-norma apa pun. Sifat-sifat yang demikian itulah yang harus dibunuh, ditiadakan dan dijadikan korban demi mencapai qurban (kedekatan) diri kepada Allah SWT. Itu sebabnya Allah mengingatkan: Daging dan darahnya sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaanmulah yang dapat mencapainya (QS 22: 37).
Dengan demikian tidak ada kaitan antara daging, darah, dan qurban (kedekatan kepada Allah). Kalaupun ada, maka ia ditemukan, antara lain, dalam rangka “meringankan beban yang butuh”, “membela orang-orang yang lemah”, serta “mengangkat derajat kemanusiaan”. Bukankah daging-daging korban itu seharusnya diberikan kepada mereka? Bahkan, bukankah penyembelihan Nabi Ibrahim terhadap Ismail itu justru bertujuan menyelamatkan manusia dan untuk menerima kasih saying Tuhan? Inilah sebagian nilai yang terkandung pada Hari Raya Korban. Wallahu a’lam.[]
Lentera Hati: M. Quraish Shihab
Manusia telah mengenal korban sejak dini, bahkan sejak putra-putra pertama Adam a.s. Pada masa Nabi Ibrahim dan sebelumnya, manusia seringkali menjadikan manusia sebagai korban (sesajen) kepada tuhan-tuhan atau dewa-dewa yang mereka sembah.
Di Mesir, misalnya, gadis tercantik dipersembahkan kepada Dewi Sungai Nil. Sementara di Kanaan, Irak, bayi-bayi dipersembahkan kepada Dewa Baal. Suku Aztec di Mexico lain lagi, mereka menyerahkan jantung dan darah manusia kepada Dewa Matahari. Di Eropa Utara, orang-orang Viking yang tadinya mendiami Skandinavia mengorbankan pemuka-pemuka agama mereka kepada Dewa Perang “Odin”.Nabi Ibrahim a.s. hidup pada abad ke-18 SM., suatu masa ketika terjadi persimpangan jalan pemikiran kemanusiaan tentang korban-korban yang masih berwujud manusia. Di satu pihak ada yang mempertahankan dan di pihak lain ada pula yang beranggapan bahwa manusia terlalu mulia dan tinggi nilainya untuk dikorbankan kepada Zat yang disembah. Di sinilah ajaran yang dibawa oleh Nabi Ibrahim memberi jalan keluar yang memuaskan semua pihak. Beliau diperintahkan oleh Allah SWT melalui suatu mimpi untuk menyembelih anaknya sebagai isyarat bahwa anak tercinta – jiwa yang paling berharga di sisi seseorang – bukanlah sesuatu yang berarti jika Tuhan telah meminta. Tidak ada sesuatu yang dapat dinilai tinggi jika dihadapkan dengan perintah Tuhan.
Tetapi, ini bukan berarti mempertahankan tradisi pengorbanan, karena setelah pisau dihujamkan dan digerakkan untuk menyembelih sang anak sebagai korban, tiba-tiba seekor domba dijadikan penggantinya. Hal ini sekaligus member isyarat bahwa Tuhan sedemikian kasih kepada manusia sehingga korban manusia tidak diperkenankan.
Dalam kehidupan kita pada abad modern ini, nilai-nilai peristiwa korban Nabi Ibrahim tersebut sering terlupakan. Masih cukup banyak praktik yang mengarah kepada mengorbankan manusia walaupun untuk mencapai tujuan-tujuan yang tidak luhur – bahkan kadang keji – dan semata-mata hanya memenuhi ambisi dan kerakusan.
Peristiwa-peristiwa yang dialami Ibrahim yang puncaknya dirayakan sebagai Idul Adha atau Hari Raya Korban, harus mampu mengingatkan bahwa yang dikorbankan tidak boleh manusia tetapi sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia, semacam rakus, ambisi yang tak terkendali, menindas, menyerang, dan tidak mengenal hukum dan norma-norma apa pun. Sifat-sifat yang demikian itulah yang harus dibunuh, ditiadakan dan dijadikan korban demi mencapai qurban (kedekatan) diri kepada Allah SWT. Itu sebabnya Allah mengingatkan: Daging dan darahnya sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaanmulah yang dapat mencapainya (QS 22: 37).
Dengan demikian tidak ada kaitan antara daging, darah, dan qurban (kedekatan kepada Allah). Kalaupun ada, maka ia ditemukan, antara lain, dalam rangka “meringankan beban yang butuh”, “membela orang-orang yang lemah”, serta “mengangkat derajat kemanusiaan”. Bukankah daging-daging korban itu seharusnya diberikan kepada mereka? Bahkan, bukankah penyembelihan Nabi Ibrahim terhadap Ismail itu justru bertujuan menyelamatkan manusia dan untuk menerima kasih saying Tuhan? Inilah sebagian nilai yang terkandung pada Hari Raya Korban. Wallahu a’lam.[]
Lentera Hati: M. Quraish Shihab
0 Response to "Hari Raya Korban: Ajakan Membunuh Sifat-Sifat Kebinatangan Kita"
Posting Komentar