Memahami Malapetaka sebagai Takdir Tuhan
Ada sifat buruk yang sering tidak kita sadari: Bila ada malapetaka atau sesuatu yang tidak menyenangkan, cepat-cepat kita melemparkan penyebabnya kepada takdir, dan sebaliknya kita melupakan kata ini pada saat kita meraih kesuksesan. Sikap ini tidak sejalan dengan petuntuk Al-Quran: Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu maka itu adalah dari (kesalahan) dirimu sendiri (QS 4: 79).
Benar, kita tidak dapat melepaskan diri dari takdir Tuhan. Tetapi, takdir-Nya tidak hanya satu. Kita diberi kemampuan untuk memilih pelbagai takdir Tuhan. Runtuhnya tembok yang rapuh dan berjangkitnya wabah merupakan takdir-takdir Tuhan, berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya. Sehingga bila seseorang tidak menghindar darinya pasti ia akan menerima akibatnya, dan itu adalah takdir. Tetapi, bila ia menghindar dan luput dari marabahaya, maka itu pun takdir. Bukankah Tuhan telah menganugerahkan manusia kemampuan untuk memilih?
Kelirulah seseorang yang hanya mengingat takdir pada saat terjadi malapetaka. Tetapi, lebih keliru lagi yang mempersalahkan takdir untuk malapetaka yang menimpanya. Bagi mereka yang menutupi kesalahan-kesalahannya dengan dalih takdir, tidak kecil dosa yang akan mereka sandang. Kita tidak ingin meratapi terlalu lama sebuah malapetaka, sebagaimana kita tidak ingin peristiwa serupa terulang lagi. Kita sadari bahwa mereka yang telah berpulang telah menemui Tuhan.
Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas dan diridhai-Nya, maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku (QS 89: 27-30).
Walaupun Al-Quran menamai kematian sebagai malapetaka (lihat QS 47: 20), tetapi ia hanya menurut pandangan orang yang ditinggal, sedangkan bagi yang meninggal kematian dapat merupakan suatu nikmat. Al-Quran juga menguraikan kematian dalam rangkaian nikmat dan anugerah Tuhan (lihat QS 2: 28). Betapa ia tidak menjadi nikmat; bukankah kematian merupakan jalan satu-satunya untuk memperoleh kebahagiaan abadi?
"Takutkah Anda mati?" demikian tanya seseorang kepada kawannya.
"Ke mana aku pergi bila aku mati?" sang kawan balik bertanya.
"Kepada Tuhan!" jawabnya.
"Aku tak perlu takut, karena aku menyadari bahwa segala sesuatu yang bersumber dari-Nya adalah baik. Dia tidak memberi kecuali yang baik."
Dalam kehidupannya di dunia, manusia mirip dengan keadaan telur sebelum menetas. Kesempurnaan wujud anak ayam adalah dengan meninggalkan dunianya, dunia telur. Demikian pula manusia, kesempurnaan kehidupannya hanya dapat dicapai dengan meninggalkan dunia, di mana ia hidup pada saat ini.[]
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, hlm. 100-102
Benar, kita tidak dapat melepaskan diri dari takdir Tuhan. Tetapi, takdir-Nya tidak hanya satu. Kita diberi kemampuan untuk memilih pelbagai takdir Tuhan. Runtuhnya tembok yang rapuh dan berjangkitnya wabah merupakan takdir-takdir Tuhan, berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya. Sehingga bila seseorang tidak menghindar darinya pasti ia akan menerima akibatnya, dan itu adalah takdir. Tetapi, bila ia menghindar dan luput dari marabahaya, maka itu pun takdir. Bukankah Tuhan telah menganugerahkan manusia kemampuan untuk memilih?
Kelirulah seseorang yang hanya mengingat takdir pada saat terjadi malapetaka. Tetapi, lebih keliru lagi yang mempersalahkan takdir untuk malapetaka yang menimpanya. Bagi mereka yang menutupi kesalahan-kesalahannya dengan dalih takdir, tidak kecil dosa yang akan mereka sandang. Kita tidak ingin meratapi terlalu lama sebuah malapetaka, sebagaimana kita tidak ingin peristiwa serupa terulang lagi. Kita sadari bahwa mereka yang telah berpulang telah menemui Tuhan.
Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas dan diridhai-Nya, maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku (QS 89: 27-30).
Walaupun Al-Quran menamai kematian sebagai malapetaka (lihat QS 47: 20), tetapi ia hanya menurut pandangan orang yang ditinggal, sedangkan bagi yang meninggal kematian dapat merupakan suatu nikmat. Al-Quran juga menguraikan kematian dalam rangkaian nikmat dan anugerah Tuhan (lihat QS 2: 28). Betapa ia tidak menjadi nikmat; bukankah kematian merupakan jalan satu-satunya untuk memperoleh kebahagiaan abadi?
"Takutkah Anda mati?" demikian tanya seseorang kepada kawannya.
"Ke mana aku pergi bila aku mati?" sang kawan balik bertanya.
"Kepada Tuhan!" jawabnya.
"Aku tak perlu takut, karena aku menyadari bahwa segala sesuatu yang bersumber dari-Nya adalah baik. Dia tidak memberi kecuali yang baik."
Dalam kehidupannya di dunia, manusia mirip dengan keadaan telur sebelum menetas. Kesempurnaan wujud anak ayam adalah dengan meninggalkan dunianya, dunia telur. Demikian pula manusia, kesempurnaan kehidupannya hanya dapat dicapai dengan meninggalkan dunia, di mana ia hidup pada saat ini.[]
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, hlm. 100-102
0 Response to "Memahami Malapetaka sebagai Takdir Tuhan"
Posting Komentar