Menguji Kebenaran Sebuah Berita
Informasi merupakan kebutuhan manusia, bukan saja pada abad modern ini, tetapi sejak manusia tercipta. Hal ini disebabkan, antara lain, oleh adanya naluri ingin tahu yang menghiasi makhluk manusia.
Adam a.s. terperdaya oleh rayuan Iblis melalui naluri ingin tahunya: Hai Adam, maukah Aku tunjukkan pohon kekekalan dan kekuasaan abadi? (QS 20: 120).
Informasi Iblis ini ternyata bukan hanya salah tetapi sekaligus menyesatkan. Al-Quran mengingatkan penerima informasi untuk menimbang bahkan menyelidiki dengan seksama informasi yang disampaikan khususnya oleh orang-orang yang tidak terpercaya (baca QS 49: 6). Di sisi lain kepada pembawa berita, Al-Quran berpesan: Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan sampaikanlah perkataan yang sadid (QS 33: 70).
Kata sadid dalam pesan di atas, bukan hanya berarti "benar". Lebih jauh dari itu, kata ini dalam berbagai bentuknya pada akhirnya bermuara kepada makna menghalangi atau membendung (dalam arti yang tidak sesuai, sehingga menghasilkan sesuatu yang berguna). Atas dasar makna ini para ulama menekankan bahwa semua ucapan apa pun bentuk dan kandungannya, di samping harus sesuai dengan kenyataan juga harus menjamin sasarannya untuk tidak terjerumus ke dalam kesulitan, bahkan membuahkan manfaat.
Dari sinilah dikenal ungkapan li kulli maqam maqal wa likulli maqal maqam (untuk setiap tempat ada ucapan yang sesuai dan untuk setiap ucapan ada tempat yang sesuai). Boleh jadi ada kebenaran yang harus Anda tangguhkan penyampaiannya demi kemaslahatan.
Umar r.a melihat Abu Hurairah berjalan tergesa-gesa dan kemudian menegurnya: "Akan ke mana, hai Abu Hurairah?"
"Ke pasar, menyampaikan apa yang kudengar dari rasul saw., bahwa siapa yang mengucapkan la ilaha illa Allah ia akan masuk surga," jawabnya.
Umar menarik Abu Hurairah dan menemui Rasul guna menguji kebenaran informasi tersebut. Akhirnya Rasul saw. membenarkan. Namun demikian, Umar mengusulkan agar berita itu tidak disampaikan kepada sembarang orang karena khawatir menimbulkan kesalahpahaman dan Rasul menyetujui usul Umar.
Apakah ini ketertutupan atau tanggung jawab? Apa pun namanya, yang pasti kalimat yang disampaikan adalah amanat yang harus dipelihara dan dipertanggungjawabkan. Menarik sekali mengamati sistematika ayat-ayat Al-Quran berkaitan dengan soal ini. Setelah memerintahkan untuk mengucapkan kata-kata yang benar dan membawa kemaslahatan serta setelah menjelaskan dampak positif dari petunjuk tersebut (QS 33: 70-71) baru disusulnya penjelasan itu dengan: Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi mereka enggan menerimanya (karena) takut menyia-nyiakannya, lalu amanat tersebut (diterima untuk) dipikul manusia, sesungguhnya manusia amat aniaya lagi amat bodoh (QS 33: 72).
Amanat yang dimaksud adalah petunjuk-petunjuk agama atau akal pikiran. Dalam bidang informasi, kebodohan manusia antara lain tampak pada ketidakmampuannya memilah dan memilih tempat, waktu, dan bahan informasi yang tepat guna. Sedangkan penganiayaannya tercermin antara lain dalam informasi dan ucapannya yang keliru dan menyesatkan, seperti memutarbalikkan fakta, menimbulkan selera rendah, melucukan yang tidak lucu, dan sebagainya yang kadang melanggar setiap norma.
Entah sudah seberapa jauh kebodohan dan penganiayaan yang kita lakukan selama ini. Maha benar Allah ketika menyatakan Manusia sungguh bodoh lagi aniaya.
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 313-315
Adam a.s. terperdaya oleh rayuan Iblis melalui naluri ingin tahunya: Hai Adam, maukah Aku tunjukkan pohon kekekalan dan kekuasaan abadi? (QS 20: 120).
Informasi Iblis ini ternyata bukan hanya salah tetapi sekaligus menyesatkan. Al-Quran mengingatkan penerima informasi untuk menimbang bahkan menyelidiki dengan seksama informasi yang disampaikan khususnya oleh orang-orang yang tidak terpercaya (baca QS 49: 6). Di sisi lain kepada pembawa berita, Al-Quran berpesan: Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan sampaikanlah perkataan yang sadid (QS 33: 70).
Kata sadid dalam pesan di atas, bukan hanya berarti "benar". Lebih jauh dari itu, kata ini dalam berbagai bentuknya pada akhirnya bermuara kepada makna menghalangi atau membendung (dalam arti yang tidak sesuai, sehingga menghasilkan sesuatu yang berguna). Atas dasar makna ini para ulama menekankan bahwa semua ucapan apa pun bentuk dan kandungannya, di samping harus sesuai dengan kenyataan juga harus menjamin sasarannya untuk tidak terjerumus ke dalam kesulitan, bahkan membuahkan manfaat.
Dari sinilah dikenal ungkapan li kulli maqam maqal wa likulli maqal maqam (untuk setiap tempat ada ucapan yang sesuai dan untuk setiap ucapan ada tempat yang sesuai). Boleh jadi ada kebenaran yang harus Anda tangguhkan penyampaiannya demi kemaslahatan.
Umar r.a melihat Abu Hurairah berjalan tergesa-gesa dan kemudian menegurnya: "Akan ke mana, hai Abu Hurairah?"
"Ke pasar, menyampaikan apa yang kudengar dari rasul saw., bahwa siapa yang mengucapkan la ilaha illa Allah ia akan masuk surga," jawabnya.
Umar menarik Abu Hurairah dan menemui Rasul guna menguji kebenaran informasi tersebut. Akhirnya Rasul saw. membenarkan. Namun demikian, Umar mengusulkan agar berita itu tidak disampaikan kepada sembarang orang karena khawatir menimbulkan kesalahpahaman dan Rasul menyetujui usul Umar.
Apakah ini ketertutupan atau tanggung jawab? Apa pun namanya, yang pasti kalimat yang disampaikan adalah amanat yang harus dipelihara dan dipertanggungjawabkan. Menarik sekali mengamati sistematika ayat-ayat Al-Quran berkaitan dengan soal ini. Setelah memerintahkan untuk mengucapkan kata-kata yang benar dan membawa kemaslahatan serta setelah menjelaskan dampak positif dari petunjuk tersebut (QS 33: 70-71) baru disusulnya penjelasan itu dengan: Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi mereka enggan menerimanya (karena) takut menyia-nyiakannya, lalu amanat tersebut (diterima untuk) dipikul manusia, sesungguhnya manusia amat aniaya lagi amat bodoh (QS 33: 72).
Amanat yang dimaksud adalah petunjuk-petunjuk agama atau akal pikiran. Dalam bidang informasi, kebodohan manusia antara lain tampak pada ketidakmampuannya memilah dan memilih tempat, waktu, dan bahan informasi yang tepat guna. Sedangkan penganiayaannya tercermin antara lain dalam informasi dan ucapannya yang keliru dan menyesatkan, seperti memutarbalikkan fakta, menimbulkan selera rendah, melucukan yang tidak lucu, dan sebagainya yang kadang melanggar setiap norma.
Entah sudah seberapa jauh kebodohan dan penganiayaan yang kita lakukan selama ini. Maha benar Allah ketika menyatakan Manusia sungguh bodoh lagi aniaya.
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 313-315
0 Response to "Menguji Kebenaran Sebuah Berita"
Posting Komentar