Falsafah Dasar Iqra'
Iqra' atau perintah membaca adalah kata pertama dari wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. Kata ini sedemikian pentingnya sehingga diulang diulang dua kali dalam rangkaian wahyu pertama. Mungkin mengherankan bahwa perintah tersebut ditujukan pertama kali kepada seseorang yang tidak pernah membaca suatu kitab sebelum turunnya Al-Quran (QS 29:48) bahkan seorang yang tidak pandai membaca suatu tulisan sampai akhir hayatnya. Namun, keheranan ini akan sirna jika disadari arti iqra' dan disadari pula bahwa perintah ini tidak diturunkan kepada pribadi Nabi Muhammad saw. semata-mata, tetapi juga untuk umat manusia sepanjang sejarah kemanusiaan, karena realisasi perintah tersebut merupakan kunci pembuka jalan kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi.
Kata iqra' yang terambil dari kata qara'a pada mulanya berarti "menghimpun". Apabila Anda merangkai huruf atau kata kemudian angka mengucapkan rangkaian tersebut, Anda telah menghimpunnya atau, dalam bahasa Al-Quran, qara'tahu qiratan. Arti asal kata ini menunjukkan bahwa iqra', yang diterjemahkan dengan "bacalah", tidak mengharuskan adanya teks tertulis yang dibaca, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain. Karenanya Anda dapat menemukan, dalam kamus-kamus bahasa, beraneka ragam arti dari kata tersebut -- antara lain menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya, dan sebagainya, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada hakikat "menghimpun" yang merupakan arti akar kata tersebut.
Iqra', demikian perintah Tuhan yang disampaikan oleh Jibril. Tetapi apa yang harus dibacanya? "Ma aqra'?" demikian pertanyaan Nabi -- dalam suatu riwayat -- setelah berulang kali Jibril menyampaikan perintah tersebut sambil merangkul beliau.
Jika diamati objek membaca pada ayat-ayat yang menggunakan akar kata qara'a ditemukan bahwa ia terkadang menyangkut suatu bacaan yang bersumber dari Tuhan (QS 17:45 dan 10:94) -- dan terkadang juga objeknya adalah suatu kitab yang merupakan himpunan karya manusia atau dengan kata lain bukan bersumber dari Allah (lihat misalnya QS 17:14).
Di sini, ditemukan perbedaan antara membaca yang menggunakan akar kata qara'a dengan membaca yang menggunakan akar kata tala tilawatan di mana kata terakhir ini digunakan untuk bacaan-bacaan yang sifatnya suci dan pasti benar (lihat misalnya QS 2:252 dan 5:27).
Di lain segi, dapat dikemukakan suatu kaidah bahwa suatu kata dalam susunan redaksi yang tidak disebutkan objeknya, maka objek yang dimaksud bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa karena kata qara'a digunakan dalam arti membaca, menelaah, menyampaikan, dan sebagainya, dan karena objeknya tidak disebut sehingga bersifat umum, maka objek kata tersebut mencakup segala yang dapat terjangkau baik bacaan suci yang bersumber dari Tuhan maupun yang bukan, baik menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis, sehingga mencakup telaah terhadap alam-raya, masyarakat dan diri sendiri, ayat suci Al-Quran, majalah, koran, dan sebagainya.
Objek qira'at yang demikian luas itu, memang dapat sedikit menyempit apabila dilihat dari dirangkaikannya perintah membaca dengan qalam, baik pada ayat keempat wahyu pertama maupun pada ayat kedua wahyu kedua yang menggunakan salah satu huruf alpabet (surah Al-Qalam). Namun, harus diingat bahwa sekian pakar tafsir kontemporer memahami kata qalam sebagai semacam alat tulis-menulis sampai kepada mesin-mesin tulis dan cetak yang canggih, dan juga harus diingat bahwa qalam bukan satu-satunya alat atau cara untuk membaca atau memperoleh pengetahuan.
Perintah membaca, menelaah, meneliti, menghimpun, dan sebagainya dikaitkan dengan "bi ismi rabbika" ("dengan nama Tuhanmu"). Pengaitan ini merupakan syarat sehingga menuntut dari si pembaca bukan saja sekadar melakukan bacaan dengan ikhlas, tetapi juga antara lain memilih bahan-bahan bacaan yang tidak mengantarnya kepada hal-hal yang bertentangan dengan "nama Allah" itu.
Demikianlah, Al-Quran secara dini menggarisbawahi pentingnya "membaca" dan keharusan adanya keikhlasan serta kepandaian memilih bahan-bahan bacaan yang tepat.
Dalam Al-Quran hanya dua kali ditemukan kata al-akram, yaitu pada ayat ke-3 surah Al-'Alaq dan pada ayat ke-13 surah Al-Hujurat, yaitu "inna akramakum 'ind Allah atqakum". Kata akram biasanya diterjemahkan dengan "Maha Pemurah" atau "semulia-mulia". Untuk memahami lebih jauh arti sebenarnya dari kata akram, sewajarnya kita kembali kepada akar katanya yaitu karama yang menurut kamus-kamus bahasa Arab antara lain berarti memberikan dengan mudah dan tanpa pamrih, bernilai tinggi, terhormat, mulia, setia, dan kebangsawanan.
Dalam Al-Quran ditemukan kata karim terulang sebanyak 27 kali. Kata tersebut menyifati 13 hal yang berbeda-beda, seperti qawl (ucapan), rizq (rezeki), zawj (pasangan), malak (malaikat), zhil (naungan), kitab (surat), dan sebagainya.
Tentunya, pengertian yang dikandung oleh sifat "karim" dari ayat yang berbeda-beda di atas harus disesuaikan dengan subjek yang disifatinya. Kata "karim" pada "qawl" (ucapan) tentu berbeda pengertiannya dengan kata "karim" pada "rezeki" atau "zawj" (pasangan). Ucapan yang karim adalah ucapan yang baik, indah terdengar, benar susunan dan kandungannya, mudah dipahami serta menggambarkan segala sesuatu yang pembicara ingin sampaikan. Sedang kata karim pada "rezeki", yang dimaksud antara lain adalah banyak, bermanfaat, serta halal. Kalau demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa kata karim dan kemudian akram digunakan oleh Al-Quran untuk menggambarkan segala sesuatu yang terpuji menyangkut subjek yang disifatinya.
Kembali kepada "rabbuka Al-Akram", yang disifati di sini adalah "Rabb" (Tuhan Pemelihara). Apakah kata akram yang berbentuk superlative ini akan dibatasi pengertiannya pada suatu hal tertentu? Jawabannya adalah tidak; apalagi ayat ini adalah satu-satunya ayat di dalam Al-Quran yang menyifati Tuhan dalam bentuk tersebut dari kata karim.
"Wa rabbuka Al-Akram" mengandung pengertian bahwa Dia (Tuhan) dapat menganugerahkan puncak dari segala yang terpuji bagi segala hambanya yang membaca.
Tentunya, kita sebagai makhluk tidak dapat menjangkau betapa besar "karam" Tuhan. Bagaimanakah makhluk yang terbatas ini dapat menjangkau sifat Tuhan Yang Mahamutlak dan tidak terbatas itu? Namun demikian, sebagian darinya dapat diungkapkan sebagai berikut:
"Bacalah, Tuhanmu akan menganugerahkan dengan karam-nya (kemurahan-Nya) pengetahuan tentang apa yang engkau tidak ketahui."
"Bacalah dan ulangi bacaan tersebut walaupun objek bacaan sama, niscaya Tuhanmu dengan karam-Nya akan memberikan pandangan/pengertian baru yang tadinya engkau belum peroleh pada bacaan pertama dalam objek tersebut."
"Bacalah dan ulangi bacaan, Tuhanmu akan memberikan kepadamu manfaat yang banyak tidak terhingga karena Dia Akram (memiliki segala macam kesempurnaan).
Di sini kita dapat melihat perbedaan antara perintah membaca pada ayat pertama dan perintah membaca pada ayat ketiga. Yakni, yang pertama menjelaskan syarat yang harus dipenuhi seseorang ketika membaca, sedangkan perintah kedua menjanjikan manfaat yang diperoleh dari bacaan tersebut.
Tuhan dalam ayat ketiga ini menjanjikan bahwa pada saat seseorang membaca "demi karena Allah", maka Allah akan menganugerahkan kepadanya ilmu pengetahuan, pemahaman-pemahaman, wawasan-wawasan baru walaupun yang dibacanya itu-itu juga.
Apa yang dijanjikan ini terbukti secara sangat jelas dalam "membaca" ayat Al-Quran yaitu dengan adanya penafsiran-penafsiran baru atau dengan pengembangan-pengembangan pelbagai pendapat dari yang telah pernah dikemukakan. Hal ini terbukti pula dengan sangat jelasnya dalam "pembacaan" alam raya ini, dengan bermunculannya penemuan-penemuan baru yang membuka rahasia-rahasia alam.
Sejarah umat manusia, secara umum, dibagi dalam dua periode utama: sebelum penemuan tulis-baca dan sesudahnya, sekitar lima ribu tahun yang lalu. Dengan ditemukannya tulis-baca, peradaban manusia tidaklah merambah jalan dan merangkak-rangkak, tetapi mereka telah berhasil melahirkan tidak kurang dari 27 peradaban dari peradaban Sumaria sampai dengan peradaban Amerika masa kini. Peradaban yang datang mempelajari peradaban yang lalu dari apa yang ditulis oleh yang lalu dan dapat dibaca oleh yang kemudian. Manusia tidak lagi memulai dari nol, berkat kemampuan tulis-baca itu.
Manusia bertugas sebagai 'abd Allah dan juga sebagai khalifah fi al-ardh. Kedua fungsi ini adalah konsekuensi dari potensi keilmuan yang dianugerahkan kepada manusia, sekaligus sebagai persyaratan mutlak bagi kesempurnaan pelaksanaan dua tugas tersebut.
Dengan ilmu yang diajarkan oleh Allah kepada manusia (Adam), ia memiliki kelebihan dari malaikat, yang tadinya meragukan kemampuan manusia untuk membangun peradaban (menjadi khalifah di bumi ini). Dan dengan ibadah yang didasari oleh ilmu yang benar, manusia menduduki tempat terhormat, sejajar bahkan dapat melebihi kedudukan umumnya malaikat.
Ilmu, baik yang kasbiy (acquired knowledge) maupun yang ladunniy (abadi, perennial), tidak dapat dicapai tanpa terlebih dahulu melakukan qira'at -- pembacaan dalam arti yang luas.
Kekhalifahan menuntut hubungan manusia dengan manusia, dengan alam serta hubungan dengan Allah. Kekhalifahan menuntut juga kearifan. Karena, dalam kaitannya dengan alam, kekhalifahan mengharuskan adanya bimbingan terhadap makhluk agar mampu mencapai tujuan penciptaannya. Untuk maksud tersebut, dibutuhkan pengenalan terhadap alam raya. Pengenalan ini tidak mungkin tercapai tanpa usaha qira'at (membaca, menelaah, mengkaji, dan sebagainya).
Demikianlah, iqra' merupakan syarat pertama dan utama bagi keberhasilan manusia. Berdasarkan hal tersebut, tidaklah mengherankan jika ia menjadi tuntunan pertama yang diberikan Allah SWT kepada manusia.[]
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, halaman 167-171
Kata iqra' yang terambil dari kata qara'a pada mulanya berarti "menghimpun". Apabila Anda merangkai huruf atau kata kemudian angka mengucapkan rangkaian tersebut, Anda telah menghimpunnya atau, dalam bahasa Al-Quran, qara'tahu qiratan. Arti asal kata ini menunjukkan bahwa iqra', yang diterjemahkan dengan "bacalah", tidak mengharuskan adanya teks tertulis yang dibaca, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain. Karenanya Anda dapat menemukan, dalam kamus-kamus bahasa, beraneka ragam arti dari kata tersebut -- antara lain menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya, dan sebagainya, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada hakikat "menghimpun" yang merupakan arti akar kata tersebut.
Iqra', demikian perintah Tuhan yang disampaikan oleh Jibril. Tetapi apa yang harus dibacanya? "Ma aqra'?" demikian pertanyaan Nabi -- dalam suatu riwayat -- setelah berulang kali Jibril menyampaikan perintah tersebut sambil merangkul beliau.
Akar Kata Qara'a dan pentinya Membaca
Sehubungan dengan itu ada baiknya kita menggali informasi dari Al-Quran tentang arti qara'a yang terulang tiga kali dalam Al-Quran, masing-masing pada surah ke-17 ayat 14 dan surah ke-96 ayat 1 dan 3. Sedangkan kata jadian dari akar kata tersebut, dalam berbagai bentuknya, terulang sebanyak 17 kali selain kata Al-Quran yang terulang sebanyak 70 kali.Jika diamati objek membaca pada ayat-ayat yang menggunakan akar kata qara'a ditemukan bahwa ia terkadang menyangkut suatu bacaan yang bersumber dari Tuhan (QS 17:45 dan 10:94) -- dan terkadang juga objeknya adalah suatu kitab yang merupakan himpunan karya manusia atau dengan kata lain bukan bersumber dari Allah (lihat misalnya QS 17:14).
Di sini, ditemukan perbedaan antara membaca yang menggunakan akar kata qara'a dengan membaca yang menggunakan akar kata tala tilawatan di mana kata terakhir ini digunakan untuk bacaan-bacaan yang sifatnya suci dan pasti benar (lihat misalnya QS 2:252 dan 5:27).
Di lain segi, dapat dikemukakan suatu kaidah bahwa suatu kata dalam susunan redaksi yang tidak disebutkan objeknya, maka objek yang dimaksud bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa karena kata qara'a digunakan dalam arti membaca, menelaah, menyampaikan, dan sebagainya, dan karena objeknya tidak disebut sehingga bersifat umum, maka objek kata tersebut mencakup segala yang dapat terjangkau baik bacaan suci yang bersumber dari Tuhan maupun yang bukan, baik menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis, sehingga mencakup telaah terhadap alam-raya, masyarakat dan diri sendiri, ayat suci Al-Quran, majalah, koran, dan sebagainya.
Objek qira'at yang demikian luas itu, memang dapat sedikit menyempit apabila dilihat dari dirangkaikannya perintah membaca dengan qalam, baik pada ayat keempat wahyu pertama maupun pada ayat kedua wahyu kedua yang menggunakan salah satu huruf alpabet (surah Al-Qalam). Namun, harus diingat bahwa sekian pakar tafsir kontemporer memahami kata qalam sebagai semacam alat tulis-menulis sampai kepada mesin-mesin tulis dan cetak yang canggih, dan juga harus diingat bahwa qalam bukan satu-satunya alat atau cara untuk membaca atau memperoleh pengetahuan.
Perintah membaca, menelaah, meneliti, menghimpun, dan sebagainya dikaitkan dengan "bi ismi rabbika" ("dengan nama Tuhanmu"). Pengaitan ini merupakan syarat sehingga menuntut dari si pembaca bukan saja sekadar melakukan bacaan dengan ikhlas, tetapi juga antara lain memilih bahan-bahan bacaan yang tidak mengantarnya kepada hal-hal yang bertentangan dengan "nama Allah" itu.
Demikianlah, Al-Quran secara dini menggarisbawahi pentingnya "membaca" dan keharusan adanya keikhlasan serta kepandaian memilih bahan-bahan bacaan yang tepat.
Arti Kata Akram dan Dorongan Al-Quran untuk Meningkatkan Minat Baca
Perintah membaca kedua ditemukan sekali lagi dalam wahyu pertama. Tetapi, kali ini perintah tersebut dirangkaikan dengan wa rabbuka al-akram. Ayat ini antara lain merupkan dorongan untuk meningkatkan minat baca.Dalam Al-Quran hanya dua kali ditemukan kata al-akram, yaitu pada ayat ke-3 surah Al-'Alaq dan pada ayat ke-13 surah Al-Hujurat, yaitu "inna akramakum 'ind Allah atqakum". Kata akram biasanya diterjemahkan dengan "Maha Pemurah" atau "semulia-mulia". Untuk memahami lebih jauh arti sebenarnya dari kata akram, sewajarnya kita kembali kepada akar katanya yaitu karama yang menurut kamus-kamus bahasa Arab antara lain berarti memberikan dengan mudah dan tanpa pamrih, bernilai tinggi, terhormat, mulia, setia, dan kebangsawanan.
Dalam Al-Quran ditemukan kata karim terulang sebanyak 27 kali. Kata tersebut menyifati 13 hal yang berbeda-beda, seperti qawl (ucapan), rizq (rezeki), zawj (pasangan), malak (malaikat), zhil (naungan), kitab (surat), dan sebagainya.
Tentunya, pengertian yang dikandung oleh sifat "karim" dari ayat yang berbeda-beda di atas harus disesuaikan dengan subjek yang disifatinya. Kata "karim" pada "qawl" (ucapan) tentu berbeda pengertiannya dengan kata "karim" pada "rezeki" atau "zawj" (pasangan). Ucapan yang karim adalah ucapan yang baik, indah terdengar, benar susunan dan kandungannya, mudah dipahami serta menggambarkan segala sesuatu yang pembicara ingin sampaikan. Sedang kata karim pada "rezeki", yang dimaksud antara lain adalah banyak, bermanfaat, serta halal. Kalau demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa kata karim dan kemudian akram digunakan oleh Al-Quran untuk menggambarkan segala sesuatu yang terpuji menyangkut subjek yang disifatinya.
Kembali kepada "rabbuka Al-Akram", yang disifati di sini adalah "Rabb" (Tuhan Pemelihara). Apakah kata akram yang berbentuk superlative ini akan dibatasi pengertiannya pada suatu hal tertentu? Jawabannya adalah tidak; apalagi ayat ini adalah satu-satunya ayat di dalam Al-Quran yang menyifati Tuhan dalam bentuk tersebut dari kata karim.
"Wa rabbuka Al-Akram" mengandung pengertian bahwa Dia (Tuhan) dapat menganugerahkan puncak dari segala yang terpuji bagi segala hambanya yang membaca.
Tentunya, kita sebagai makhluk tidak dapat menjangkau betapa besar "karam" Tuhan. Bagaimanakah makhluk yang terbatas ini dapat menjangkau sifat Tuhan Yang Mahamutlak dan tidak terbatas itu? Namun demikian, sebagian darinya dapat diungkapkan sebagai berikut:
"Bacalah, Tuhanmu akan menganugerahkan dengan karam-nya (kemurahan-Nya) pengetahuan tentang apa yang engkau tidak ketahui."
"Bacalah dan ulangi bacaan tersebut walaupun objek bacaan sama, niscaya Tuhanmu dengan karam-Nya akan memberikan pandangan/pengertian baru yang tadinya engkau belum peroleh pada bacaan pertama dalam objek tersebut."
"Bacalah dan ulangi bacaan, Tuhanmu akan memberikan kepadamu manfaat yang banyak tidak terhingga karena Dia Akram (memiliki segala macam kesempurnaan).
Di sini kita dapat melihat perbedaan antara perintah membaca pada ayat pertama dan perintah membaca pada ayat ketiga. Yakni, yang pertama menjelaskan syarat yang harus dipenuhi seseorang ketika membaca, sedangkan perintah kedua menjanjikan manfaat yang diperoleh dari bacaan tersebut.
Tuhan dalam ayat ketiga ini menjanjikan bahwa pada saat seseorang membaca "demi karena Allah", maka Allah akan menganugerahkan kepadanya ilmu pengetahuan, pemahaman-pemahaman, wawasan-wawasan baru walaupun yang dibacanya itu-itu juga.
Apa yang dijanjikan ini terbukti secara sangat jelas dalam "membaca" ayat Al-Quran yaitu dengan adanya penafsiran-penafsiran baru atau dengan pengembangan-pengembangan pelbagai pendapat dari yang telah pernah dikemukakan. Hal ini terbukti pula dengan sangat jelasnya dalam "pembacaan" alam raya ini, dengan bermunculannya penemuan-penemuan baru yang membuka rahasia-rahasia alam.
Peradaban yang Dibangun oleh "Makhluk Membaca"
Demikianlah, perintah membaca merupakan perintah yang paling berharga yang dapat diberikan kepada umat manusia. Karena, membaca merupakan jalan yang mengantar manusia mencapai derajat kemanusiaannya yang sempurna. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa "membaca" adalah syarat utama guna membangun peradaban. Dan bila diakui bahwa semakin luas pembacaan semakin tinggi peradaban, demikian pula sebaliknya. Maka, tidak mustahil jika pada suatu ketika "manusia" akan didefinisikan sebagai "makhluk membaca", suatu definisi yang tidak kurang nilai kebenarannya dari definisi-definisi lainnya semacam "makhluk sosial" atau "makhluk berpikir".Sejarah umat manusia, secara umum, dibagi dalam dua periode utama: sebelum penemuan tulis-baca dan sesudahnya, sekitar lima ribu tahun yang lalu. Dengan ditemukannya tulis-baca, peradaban manusia tidaklah merambah jalan dan merangkak-rangkak, tetapi mereka telah berhasil melahirkan tidak kurang dari 27 peradaban dari peradaban Sumaria sampai dengan peradaban Amerika masa kini. Peradaban yang datang mempelajari peradaban yang lalu dari apa yang ditulis oleh yang lalu dan dapat dibaca oleh yang kemudian. Manusia tidak lagi memulai dari nol, berkat kemampuan tulis-baca itu.
Manusia bertugas sebagai 'abd Allah dan juga sebagai khalifah fi al-ardh. Kedua fungsi ini adalah konsekuensi dari potensi keilmuan yang dianugerahkan kepada manusia, sekaligus sebagai persyaratan mutlak bagi kesempurnaan pelaksanaan dua tugas tersebut.
Dengan ilmu yang diajarkan oleh Allah kepada manusia (Adam), ia memiliki kelebihan dari malaikat, yang tadinya meragukan kemampuan manusia untuk membangun peradaban (menjadi khalifah di bumi ini). Dan dengan ibadah yang didasari oleh ilmu yang benar, manusia menduduki tempat terhormat, sejajar bahkan dapat melebihi kedudukan umumnya malaikat.
Ilmu, baik yang kasbiy (acquired knowledge) maupun yang ladunniy (abadi, perennial), tidak dapat dicapai tanpa terlebih dahulu melakukan qira'at -- pembacaan dalam arti yang luas.
Kekhalifahan menuntut hubungan manusia dengan manusia, dengan alam serta hubungan dengan Allah. Kekhalifahan menuntut juga kearifan. Karena, dalam kaitannya dengan alam, kekhalifahan mengharuskan adanya bimbingan terhadap makhluk agar mampu mencapai tujuan penciptaannya. Untuk maksud tersebut, dibutuhkan pengenalan terhadap alam raya. Pengenalan ini tidak mungkin tercapai tanpa usaha qira'at (membaca, menelaah, mengkaji, dan sebagainya).
Demikianlah, iqra' merupakan syarat pertama dan utama bagi keberhasilan manusia. Berdasarkan hal tersebut, tidaklah mengherankan jika ia menjadi tuntunan pertama yang diberikan Allah SWT kepada manusia.[]
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, halaman 167-171
0 Response to "Falsafah Dasar Iqra'"
Posting Komentar