Konsep Pendidikan dalam Al-Quran
Al-Quran mengintroduksikan dirinya sebagai "pemberi petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus" (QS 17:19). Petunjuk-petunjuknya bertujuan memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok, dan karena itu ditemukan petunjuk-petunjuk bagi manusia dalam kedua bentuk tersebut. Rasulullah saw., yang dalam hal ini bertindak sebagai penerima Al-Quran, bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk terebut, menyucikan dan mengajarkan manusia (QS 67:2). Menyucikan dapat diidentikkan dengan mendidik, sedangkan mengajar tidak lain kecuali mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika serta fisika.[1]
Tujuan yang ingin dicapai dengan pembacaan, penyucian, dan pengajaran tersebut adalah pengabdian kepada Allah sejalan dengan tujuan penciptaan manusia yang ditegaskan oleh Al-Quran dalam surat Al-Dzariyat 56: Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menjadikan tujuan akhir atau hasil segala aktivitasnya sebagai pengabdian kepadaku.[2]
Aktivitas yang dimaksudkan di atas tersimpul dalam kandungan ayat 30 Surat Al-Baqarah: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi, dan surat Hud ayat 61: Dan Dia yang menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menugaskan kamu untuk memakmurkan. Artinya, manusia yang dijadikan khalifah itu bertugas memakmurkan atau membangun bumi ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan oleh yang menugaskan, yaitu Allah.
Atas dasar ini, kita dapat berkata bahwa tujuan pendidikan Al-Quran adalah "membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah".[3] Atau, dengan kata yang lebih singkat dan sering digunakan oleh Al-Quran, "untuk bertakwa kepada-Nya."[4]
Kekhalifahan mengharuskan empat sisi yang saling berkaitan: (1) pemberi tugas, dalam hal ini Allah SWT; (2) penerima tugas, dalam hal ini manusia, perorangan maupun kelompok; (3) tempat atau lingkungan, di mana manusia berada; dan (4) materi-materi penugasan yang harus mereka laksanakan.[5]
Tugas kekhalifahan tersebut tidak akan dinilai berhasil apabila materi penugasan tidak dilaksanakan atau apabila kaitan antara penerima tugas dengan lingkungannya tidak diperhatikan. Khusus menyangkut kaitan antara penerima tugas dengan lingkungannya, harus digarisbawahi bahwa corak hubungan tersebut dapat berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Dan karena itu, penjabaran tugas kekhalifahan harus sejalan dan diangkat dari dalam masyarakat itu masing-masing. Atas dasar ini, disepakati oleh seluruh ahli pendidikan bahwa sistem serta tujuan pendidikan bagi suatu masyarakat atau negara tidak dapat diimpor atau diekspor dari atau ke suatu negara atau masyarakat. ia harus timbul dari dalam masyarakat itu sendiri. Ia adalah "pakaian" yang harus diukur dan dijahit sesuai dengan bentuk dan ukuran pemakainya, berdasarkan identitas, pandangan hidup, serta nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat atau negara tersebut.
Seperti yang dikemukakan di atas, tujuan yang Al-Quran ingin capai adalah membina manusia guna mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya. Manusia yang dibina adalah makhluk yang memiliki unsur-unsur material (jasmani) dan imaterial (akal dan jiwa). Pembinaan akalnya menghasilkan ilmu. Pembinaan jiwanya menghasilkan kesucian dan etika, sedangkan pembinaan jasmaninya menghasilkan keterampilan. Dengan penggabungan unsur-unsur tersebut, terciptalah makhluk dwidimensi dalam satu keseimbangan, dunia dan akhirat, ilmu dan iman. Itu sebabnya dalam pendidikan Islam dikenal istilah adab al-din dan adab al-dunya.
Pembinaan manusia, atau---dengan kata lain---pendidikan Al-Quran terhadap anak didiknya, dilakukan secara bersamaan. Satu contoh sederhana adalah sikap Al-Quran ketika menggambarkan puncak kesucian jiwa yang dialami oleh seorang Nabi pada saat ia menerima wahyu. Di sana Al-Quran mengaitkan perilaku yang mengalami puncak kesucian tersebut dengan situasi yang bersifat material. Perhatikan ayat-ayat berikut:
(a). Ketika Musa a.s. menerima wahyu, Allah, setelah memperkenalkan diri-Nya, berfirman: "Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?" (QS 20:17);
(b). Ketika Nabi Muhammad saw. menerima wahyu, oleh Tuhan diingatkan: "Janganlah engkau gerakkan lidahmu untuk membaca Al-Quran karena hendak cepat-cepat menguasainya" (QS 75:16); atau
(c). Gambaran yang dijelaskan oleh Al-Quran tentang sikap Nabi sebagai: "Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya dan tidak pula melampauinya" (QS 53:17).
Kalau uraian di atas dikaitkan dengan pembangunan nasional yang bertujuan "membangun manusia Indonesia seutuhnya" atau lebih khusus dibandingkan dengan tujuan pendidikan nasional, jelas sekali relevansi dan persesuaiannya. Dalam GBHN 1983 dinyatakan: "Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan bertujuan meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsaan, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa."
Dalam rumusan di atas, jelaslah apa yang ingin dicapai, yakni terbentuknya manusia Indonesia yang: (a) tinggi takwanya terhadap Tuhan Yang Mahaesa; (b) cerdas dan terampil; (c) berbudi pekerti luhur dan berkepribadian; dan (d) memiliki semangat kebangsaan. Semuanya bertujuan untuk menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri dan bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Jika diamati, tidak satu pun dari butir-butir di atas yang tidak ditemukan dalam analisis ayat-ayat Al-Quran yang telah dikemukakan dalam uraian ini. Satu-satunya yang mungkin dipertanyakan adalah butir (d). Namun, bila disadari bahwa semangat kebangsaan pada hakikatnya adalah rasa kebersamaan hidup dalam suatu wilayah atau lingkungan, disertai kesadaran akan persamaan nasib, sejarah, dan masa depan, yang harus dipertanggungjawabkan bersama, maka pertanyaan tersebut tidak akan lahir, karena ia pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan salah satu tugas kekhalifahan yang tidak dapat diabaikan sebagaimana telah dikemukakan di atas. Kaitan semangat kebangsaan dengan fungsi kekhalifahan serta tugas memakmurkan bumi ditemukan pula secara jelas dalam ayat 13 surat Al-Hujurat, yang menjelaskan tujuan penciptaan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, yakni untuk saling mengenal.
Dalam penyajian materi pendidikannya, Al-Quran membuktikan kebenaran materi tersebut melalui pembuktian-pembuktian, baik dengan argumentasi-argumentasi yang dikemukakannya maupun yang dapat dibuktikan sendiri oleh manusia (peserta didik) melalui penalaran akalnya. Ini dianjurkan oleh Al-Quran untuk dilakukan pada saat mengemukakan materi tersebut "agar akal manusia merasa bahwa ia berperan dalam menemukan hakikat materi yang disajikan itu sehingga merasa memiliki dan bertanggung jawab untuk membelanya."[6] Hal ini ditemui pada setiap permasalahan: akidah atau kepercayaan, hukum, sejarah, dan sebagainya.
Salah satu metode yang digunakan oleh Al-Quran untuk mengarahkan manusia ke arah yang dikehendakinya adalah dengan menggunakan "kisah". Setiap kisah menunjang materi yang disajikan, baik kisah tersebut benar-benar terjadi maupun kisah simbolik.
Dalam mengemukakan kisah-kisah, Al-Quran tidak segan-segan untuk menceritakan "kelemahan manusiawi". Namun hal tersebut digambarkannya sebagaimana adanya, tanpa menonjolkan segi-segi yang dapat mengundang tepuk tangan atau rangsangan. Kisah tersebut biasanya diakhiri dengan menggarisbawahi akibat kelemahan itu, atau dengan melukiskan saat kesadaran manusia dan kemenangannya mengatasi kelemahan tadi. Perhatikan misalnya kisah yang diungkapkan pada surat Al-Qashahsh 76-81. Di sini, setelah dengan bangganya Karun mengakui bahwa kekayaan yang diperolehnya adalah berkat hasil usahanya sendiri, suatu kekaguman orang-orang sekitarnya terhadap kekayaan yang dimilikinya, tiba-tiba gempa menelan Karun dan kekayaannya. Orang-orang yang tadinya kagum menyadari bahwa orang yang durhaka tidak pernah akan memperoleh keberuntungan yang langgeng. Atau kisah Nabi Sulaiman ketika terpengaruh oleh keindahan kuda-kudanya dalam surat Shad 30-35. Dalam ayat ini digambarkan betapa Nabi Sulaiman menyenangi kuda-kuda tersebut dan kemudian lengah, sehingga waktu Ashar berlalu tanpa sempat ia melaksanakan shalat. Ketika itu ia sadar dan disembelihnya (atau diwakafkannya) kuda-kuda itu yang telah menyebabkannya lalai melaksanakan shalat.
Al-Quran bahkan, sama dengan sikap para pengarang novel, menganggap bahwa wanita adalah salah satu unsur terpenting dalam satu kisah.[7] Bahkan, agaknya Al-Quran juga menggambarkan mukaddimah hubungan seks, tetapi harus digarisbawahi bahwa gambaran tersebut tidak seperti apa yang dilakukan oleh sementara penyusun novel yang memancing nafsu dan merangsang birahi. Al-Quran menggambarkannya sebagai satu kenyataan dalam diri manusia yang tidak perlu ditutup-tutupi atau dianggap sebagai satu kekejian.[8] Lihat misalnya kisah Yusuf dan Zulaikha dalam surat Yusuf 22-23. Di dalam ayat tersebut digambarkan tentang sikap istri penguasa Mesir itu merayu Yusuf, menutup pintu rapat-rapat secara berkata: "Ayo, inilah aku..."
Al-Quran Al-Karim menggunakan juga kalimat-kalimat yang menyentuh hati guna mengarahkan manusia kepada ide yang dikehendakinya. Tetapi nasihat yang disampaikan ini selalu disertai dengan panutan dari si pemberi atau penyampai nasihat tersebut, dalam hal ini Rasul saw. Karena itu, terhimpunlah dalam diri Rasul berbagai keistimewaan yang memungkinkan orang-orang yang mendengar ajaran-ajaran Al-Quran untuk melihat dengan nyata penjelmaan ajaran atau nasihat tersebut pada pribadi beliau, yang selanjutnya mendorong mereka untuk meyakini keistimewaan dan mencontoh pelaksanaannya.
Di samping itu, pembiasaan yang pada akhirnya melahirkan kebiasaan ditempuh pula oleh Al-Quran dalam rangka memantapkan pelaksanaan materi-materi ajarannya. Pembiasaan tersebut menyangkut segi-segi pasif maupun aktif. Tetapi perlu diperhatikan bahwa yang dilakukan Al-Quran menyangkut pembiasaan dari segi pasif hanyalah dalam hal-hal yang berhubungan erat dengan kondisi sosial dan ekonomi, bukan menyangkut kondisi kejiwaan yang berhubungan erat dengan akidah atau etika. Sedangkan dalam hal-hal yang bersifat aktif atau menuntut pelaksanaan, ditemui pembiasaan tersebut secara menyeluruh.
Hal ini dapat dibuktikan dengan larangannya yang bersifat pasti tanpa bertahap terhadap penyembahan berhala, syirik atau kebohongan. Sedangkan dalam soal-soal mengenai larangan minuman keras, zina atau riba, proses pembiasaan tersebut dijumpai. Demikian pula dalam hal kewajiban shalat, zakat, dan puasa.
Apabila semua hal di atas telah ditempuh, janji-janji ganjaran pun telah dikemukakan. Namun, jika sasaran yang dituju belum juga berhasil, pada saat itu Al-Quran menjatuhkan sanksi-sanksinya, yang juga ditempuh secara bertahap: dimulai dengan pernyataan "tidak mendapat kasih Tuhan" (lihat misalnya Al-Nisa' 36, Al-Maidah 87, Al-An'am 141, dan sebagainya), kemudian disusul dengan ancaman amarah Tuhan (lihat antara lain Al-Nahl 106, Al-Nur 9, dan sebagainya), selanjutnya dengan ancaman peperangan langsung dari Tuhan (Al-Baqarah 278-279), lantas disusul dengan ancaman siksa di akhirat (Al-Furqan 68-69), dan siksa di dunia (Al-Taubah 39, dan lain-lain), dan akhirnya menjatuhkan hukuman secara pasti (seperti dalam Al-Maidah 38 dan Al-Nur 2).
Demikianlah, selayang pandang, sebagian dari ciri-ciri metode yang ditempuh Al-Quran dalam rangka pendidikan umat. Kalau butir-butir metode yang digunakan Al-Quran itu kita gunakan untuk menyoroti metodologi pendidikan nasional, khususnya pendidikan agama, maka ditemukan dalam kenyataan banyak hal yang tidak sejalan bahkan bertentangan dengan konsep tersebut.
Di atas telah digambarkan bahwa Al-Quran menuntun peserta didiknya untuk menemukan kebenaran melaui usaha peserta didik sendiri, menuntut agar materi yang disajikan diyakini kebenarannya melaui argumentasi-argumentasi logika, dan kisah-kisah yang dipaparkannya mengantarkan mereka kepada tujuan pendidikan dalam berbagai aspkenya, dan nasihat yang ditunjang panutan. Sementara pendidikan kita, khususnya dalam bidang metodologi, seringkali sangat menitikberatkan pada hapalan, dan contoh-contoh yang dipaparkan bersifat ajaib, kiasan yang dikemukakan dengan bahasa yang gersang, tidak menyentuh hati, ditambah lagi nasihat yang diberikan tidak ditunjang oleh panutan pemberinya.
Keberhasilan mencapai tujuan pendidikan nasional lebih sulit lagi dengan adanya tantangan yang besar akibat pengaruh ilmu pengetahuan empiris, rasional, materialistis, dan kuantitatif (ERMK), yang keseluruhan sistemnya dibangun atas dasar pengalaman dan dengan mudah dimengerti akal, terjangkau oleh pancaindera. Ini pada akhirnya mudah tersebar luas dan mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Melalui sistem ERMK ini, pemikiran dilatih dan pembuktian terus menerus diperdalam dengan "bahasa" yang tidak asing digunakan oleh kalangan banyak. Dapat digambarkan apa yang dapat dilakukan dengan metodologi yang ditemukan dalam kenyataan ketika menghadapi hasil sistem ERMK tersebut.
Jangkauan yang harus dipelajari, yang demikian luas dan menyeluruh itu, tidak dapat diraih secara sempurna oleh seseorang. Namun, ia harus berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan apa yang ia mampu meraihnya. Karenanya, ia dituntut untuk terus menerus belajar. Nabi Muhammad saw., sekalipun telah mencapai puncak segala puncak, masih tetap juga diperintah untuk selalu memohon (berdoa) sambil berusaha untuk mendapatkan ilmu pengetahuan (QS 20:114).
Atas dasar itu, sangat populer apa yang oleh sementara orang dianggap sebagai hadis Nabi saw. yang berbunyi, "Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahad!" Terlepas dari benar tidaknya penisbahan ungkapan tersebut terhadap Nabi, yang jelas ia sejalan dengan konsepsi Al-Quran tentang keharusan menuntut ilmu dan memperoleh pendidikan sepanjang hayat. Ungkapan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa ide yang terdapat dalam khazanah pemikiran Islam ini mendahului "life long educatioan" yang dipopulerkan oleh Paul Lengrand dalam bukunya An Introduction to Lifelong Education. Pendidikan seumur hidup yang dikemukakannya ini tentunya tidak hanya terlaksana melalui jalur-jalur formal, tetapi juga jalur informal dan nonformal, atau dengan kata lain pendidikan yang berlangsung seumur hidup menjadi tanggung jawab bersama keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
Bahkan, lebih jauh, dapat dikatakan bahwa Al-Quran tidak hanya menekankan pentingnya belajar, tetapi juga pentingnya mengajar. Dalam surat Al-'Ashr ditegaskan bahwa semua orang merugi kecuali yang melaksanakan empat hal. Salah satunya adalah saling wasia-mewasiati (ajar-mengajar) tentang al-haqq (kebenaran). Ilmu pengetahuan adalah kebenaran. Rugilah orang yang tidak mengajarkan kebenaran yang diketahuinya.
Tujuan tersebut tidak akan mungkin tercapai melalui dogma, atau tutur kata dan nasihat semata, tanpa panutan. Ia hanya dapat dicapai antara lain melalui diskusi yang melibatkan akal pikiran, tutur kata yang menyentuh jiwa, serta kisah manusia yang baik dan yang buruk, disertai dengan panutan yang baik dari pendidik.[]
2. Lihat penafsiran ayat tersebut oleh Musthafa Al-Kik dalam Bayn 'Alamain, Dar Al-Ma'arif, Kairo, 1965, h. 94.
3. Muhammad Quthb, Manhaj Al-Tarbiyyah Al-Islamiyyah, Dar Al-Syuruq, Kairo, 1400 H, Cetakan IV, Jilid I, h. 13.
4. Kata "taqwa" dalam Al-Quran mencakup segala bentuk dan tingkat kebajikan dan karenanya ia merupakan wasiat Tuhan kepada seluruh makhluk dengan berbagai tingkatnya sejak Nabi hingga orang-orang awam.
5. Lihat lebih jauh Muhammad Baqir Al-Shadr dalam Al-Madrasah Al-Qur'aniyah Al-Sunan Al-Tarikiyah fi Al-Qur'an Al-Karim, Dar Al-Ta'aruf, Beirut, 1980, h. 128.
6. Abdul Karim Al-Khatib, Qadhiyat Al-Uluhiyyat bayn Al-Din wa Al-Falsafah, Dar Al-Fikr Al-Arabiy, Kairo, 1962, Jilid I, h. 319.
7. Lihat Abdul Karim Al-Khatib, op. cit., h. 328.
8. Bandingkan dengan Muhammad Quthb, Jahiliyat Al-Qarn Al-Isyrin, Wahbah, Mesir, 1964, Cetakan I, h. 216 dst.
9. Kesinambungan tersebut dipahami dari penggunaan bentuk mudhari' (present tense) dalam redaksi ayat tersebut, yang bentuk itu diartikan oleh ahli-ahli kebahasaan sebagai menunjukkan kesinambungan peristiwa yang ditunjukkan oleh kekosakataannya.
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, halaman 172-179.
Tujuan yang ingin dicapai dengan pembacaan, penyucian, dan pengajaran tersebut adalah pengabdian kepada Allah sejalan dengan tujuan penciptaan manusia yang ditegaskan oleh Al-Quran dalam surat Al-Dzariyat 56: Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menjadikan tujuan akhir atau hasil segala aktivitasnya sebagai pengabdian kepadaku.[2]
Aktivitas yang dimaksudkan di atas tersimpul dalam kandungan ayat 30 Surat Al-Baqarah: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi, dan surat Hud ayat 61: Dan Dia yang menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menugaskan kamu untuk memakmurkan. Artinya, manusia yang dijadikan khalifah itu bertugas memakmurkan atau membangun bumi ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan oleh yang menugaskan, yaitu Allah.
Atas dasar ini, kita dapat berkata bahwa tujuan pendidikan Al-Quran adalah "membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah".[3] Atau, dengan kata yang lebih singkat dan sering digunakan oleh Al-Quran, "untuk bertakwa kepada-Nya."[4]
Kekhalifahan mengharuskan empat sisi yang saling berkaitan: (1) pemberi tugas, dalam hal ini Allah SWT; (2) penerima tugas, dalam hal ini manusia, perorangan maupun kelompok; (3) tempat atau lingkungan, di mana manusia berada; dan (4) materi-materi penugasan yang harus mereka laksanakan.[5]
Tugas kekhalifahan tersebut tidak akan dinilai berhasil apabila materi penugasan tidak dilaksanakan atau apabila kaitan antara penerima tugas dengan lingkungannya tidak diperhatikan. Khusus menyangkut kaitan antara penerima tugas dengan lingkungannya, harus digarisbawahi bahwa corak hubungan tersebut dapat berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Dan karena itu, penjabaran tugas kekhalifahan harus sejalan dan diangkat dari dalam masyarakat itu masing-masing. Atas dasar ini, disepakati oleh seluruh ahli pendidikan bahwa sistem serta tujuan pendidikan bagi suatu masyarakat atau negara tidak dapat diimpor atau diekspor dari atau ke suatu negara atau masyarakat. ia harus timbul dari dalam masyarakat itu sendiri. Ia adalah "pakaian" yang harus diukur dan dijahit sesuai dengan bentuk dan ukuran pemakainya, berdasarkan identitas, pandangan hidup, serta nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat atau negara tersebut.
Seperti yang dikemukakan di atas, tujuan yang Al-Quran ingin capai adalah membina manusia guna mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya. Manusia yang dibina adalah makhluk yang memiliki unsur-unsur material (jasmani) dan imaterial (akal dan jiwa). Pembinaan akalnya menghasilkan ilmu. Pembinaan jiwanya menghasilkan kesucian dan etika, sedangkan pembinaan jasmaninya menghasilkan keterampilan. Dengan penggabungan unsur-unsur tersebut, terciptalah makhluk dwidimensi dalam satu keseimbangan, dunia dan akhirat, ilmu dan iman. Itu sebabnya dalam pendidikan Islam dikenal istilah adab al-din dan adab al-dunya.
Pembinaan manusia, atau---dengan kata lain---pendidikan Al-Quran terhadap anak didiknya, dilakukan secara bersamaan. Satu contoh sederhana adalah sikap Al-Quran ketika menggambarkan puncak kesucian jiwa yang dialami oleh seorang Nabi pada saat ia menerima wahyu. Di sana Al-Quran mengaitkan perilaku yang mengalami puncak kesucian tersebut dengan situasi yang bersifat material. Perhatikan ayat-ayat berikut:
(a). Ketika Musa a.s. menerima wahyu, Allah, setelah memperkenalkan diri-Nya, berfirman: "Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?" (QS 20:17);
(b). Ketika Nabi Muhammad saw. menerima wahyu, oleh Tuhan diingatkan: "Janganlah engkau gerakkan lidahmu untuk membaca Al-Quran karena hendak cepat-cepat menguasainya" (QS 75:16); atau
(c). Gambaran yang dijelaskan oleh Al-Quran tentang sikap Nabi sebagai: "Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya dan tidak pula melampauinya" (QS 53:17).
Kalau uraian di atas dikaitkan dengan pembangunan nasional yang bertujuan "membangun manusia Indonesia seutuhnya" atau lebih khusus dibandingkan dengan tujuan pendidikan nasional, jelas sekali relevansi dan persesuaiannya. Dalam GBHN 1983 dinyatakan: "Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan bertujuan meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsaan, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa."
Dalam rumusan di atas, jelaslah apa yang ingin dicapai, yakni terbentuknya manusia Indonesia yang: (a) tinggi takwanya terhadap Tuhan Yang Mahaesa; (b) cerdas dan terampil; (c) berbudi pekerti luhur dan berkepribadian; dan (d) memiliki semangat kebangsaan. Semuanya bertujuan untuk menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri dan bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Jika diamati, tidak satu pun dari butir-butir di atas yang tidak ditemukan dalam analisis ayat-ayat Al-Quran yang telah dikemukakan dalam uraian ini. Satu-satunya yang mungkin dipertanyakan adalah butir (d). Namun, bila disadari bahwa semangat kebangsaan pada hakikatnya adalah rasa kebersamaan hidup dalam suatu wilayah atau lingkungan, disertai kesadaran akan persamaan nasib, sejarah, dan masa depan, yang harus dipertanggungjawabkan bersama, maka pertanyaan tersebut tidak akan lahir, karena ia pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan salah satu tugas kekhalifahan yang tidak dapat diabaikan sebagaimana telah dikemukakan di atas. Kaitan semangat kebangsaan dengan fungsi kekhalifahan serta tugas memakmurkan bumi ditemukan pula secara jelas dalam ayat 13 surat Al-Hujurat, yang menjelaskan tujuan penciptaan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, yakni untuk saling mengenal.
Metode Penyampaian Materi
Al-Quran Al-Karim, dalam mengarahkan pendidikannya kepada manusia, sebagaimana dikemukakan di atas, memandang, menghadapi, dan memperlakukan makhluk tersebut sejalan dengan unsur penciptaannya: jasmani, akal dan jiwa. Atau, dengan kata lain, "mengarahkannya menjadi manusia seutuhnya". Karena itu, materi-materi pendidikan yang disajikan oleh Al-Quran hampir selalu mengarah kepada jiwa, akal dan raga manusia. Sampai-sampai ditemukan ayat yang mengaitkan keterampilan dengan kekuasaan Allah SWT, yakni: "Dan bukanlah kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar" (QS 8:17).Dalam penyajian materi pendidikannya, Al-Quran membuktikan kebenaran materi tersebut melalui pembuktian-pembuktian, baik dengan argumentasi-argumentasi yang dikemukakannya maupun yang dapat dibuktikan sendiri oleh manusia (peserta didik) melalui penalaran akalnya. Ini dianjurkan oleh Al-Quran untuk dilakukan pada saat mengemukakan materi tersebut "agar akal manusia merasa bahwa ia berperan dalam menemukan hakikat materi yang disajikan itu sehingga merasa memiliki dan bertanggung jawab untuk membelanya."[6] Hal ini ditemui pada setiap permasalahan: akidah atau kepercayaan, hukum, sejarah, dan sebagainya.
Salah satu metode yang digunakan oleh Al-Quran untuk mengarahkan manusia ke arah yang dikehendakinya adalah dengan menggunakan "kisah". Setiap kisah menunjang materi yang disajikan, baik kisah tersebut benar-benar terjadi maupun kisah simbolik.
Dalam mengemukakan kisah-kisah, Al-Quran tidak segan-segan untuk menceritakan "kelemahan manusiawi". Namun hal tersebut digambarkannya sebagaimana adanya, tanpa menonjolkan segi-segi yang dapat mengundang tepuk tangan atau rangsangan. Kisah tersebut biasanya diakhiri dengan menggarisbawahi akibat kelemahan itu, atau dengan melukiskan saat kesadaran manusia dan kemenangannya mengatasi kelemahan tadi. Perhatikan misalnya kisah yang diungkapkan pada surat Al-Qashahsh 76-81. Di sini, setelah dengan bangganya Karun mengakui bahwa kekayaan yang diperolehnya adalah berkat hasil usahanya sendiri, suatu kekaguman orang-orang sekitarnya terhadap kekayaan yang dimilikinya, tiba-tiba gempa menelan Karun dan kekayaannya. Orang-orang yang tadinya kagum menyadari bahwa orang yang durhaka tidak pernah akan memperoleh keberuntungan yang langgeng. Atau kisah Nabi Sulaiman ketika terpengaruh oleh keindahan kuda-kudanya dalam surat Shad 30-35. Dalam ayat ini digambarkan betapa Nabi Sulaiman menyenangi kuda-kuda tersebut dan kemudian lengah, sehingga waktu Ashar berlalu tanpa sempat ia melaksanakan shalat. Ketika itu ia sadar dan disembelihnya (atau diwakafkannya) kuda-kuda itu yang telah menyebabkannya lalai melaksanakan shalat.
Al-Quran bahkan, sama dengan sikap para pengarang novel, menganggap bahwa wanita adalah salah satu unsur terpenting dalam satu kisah.[7] Bahkan, agaknya Al-Quran juga menggambarkan mukaddimah hubungan seks, tetapi harus digarisbawahi bahwa gambaran tersebut tidak seperti apa yang dilakukan oleh sementara penyusun novel yang memancing nafsu dan merangsang birahi. Al-Quran menggambarkannya sebagai satu kenyataan dalam diri manusia yang tidak perlu ditutup-tutupi atau dianggap sebagai satu kekejian.[8] Lihat misalnya kisah Yusuf dan Zulaikha dalam surat Yusuf 22-23. Di dalam ayat tersebut digambarkan tentang sikap istri penguasa Mesir itu merayu Yusuf, menutup pintu rapat-rapat secara berkata: "Ayo, inilah aku..."
Al-Quran Al-Karim menggunakan juga kalimat-kalimat yang menyentuh hati guna mengarahkan manusia kepada ide yang dikehendakinya. Tetapi nasihat yang disampaikan ini selalu disertai dengan panutan dari si pemberi atau penyampai nasihat tersebut, dalam hal ini Rasul saw. Karena itu, terhimpunlah dalam diri Rasul berbagai keistimewaan yang memungkinkan orang-orang yang mendengar ajaran-ajaran Al-Quran untuk melihat dengan nyata penjelmaan ajaran atau nasihat tersebut pada pribadi beliau, yang selanjutnya mendorong mereka untuk meyakini keistimewaan dan mencontoh pelaksanaannya.
Di samping itu, pembiasaan yang pada akhirnya melahirkan kebiasaan ditempuh pula oleh Al-Quran dalam rangka memantapkan pelaksanaan materi-materi ajarannya. Pembiasaan tersebut menyangkut segi-segi pasif maupun aktif. Tetapi perlu diperhatikan bahwa yang dilakukan Al-Quran menyangkut pembiasaan dari segi pasif hanyalah dalam hal-hal yang berhubungan erat dengan kondisi sosial dan ekonomi, bukan menyangkut kondisi kejiwaan yang berhubungan erat dengan akidah atau etika. Sedangkan dalam hal-hal yang bersifat aktif atau menuntut pelaksanaan, ditemui pembiasaan tersebut secara menyeluruh.
Hal ini dapat dibuktikan dengan larangannya yang bersifat pasti tanpa bertahap terhadap penyembahan berhala, syirik atau kebohongan. Sedangkan dalam soal-soal mengenai larangan minuman keras, zina atau riba, proses pembiasaan tersebut dijumpai. Demikian pula dalam hal kewajiban shalat, zakat, dan puasa.
Apabila semua hal di atas telah ditempuh, janji-janji ganjaran pun telah dikemukakan. Namun, jika sasaran yang dituju belum juga berhasil, pada saat itu Al-Quran menjatuhkan sanksi-sanksinya, yang juga ditempuh secara bertahap: dimulai dengan pernyataan "tidak mendapat kasih Tuhan" (lihat misalnya Al-Nisa' 36, Al-Maidah 87, Al-An'am 141, dan sebagainya), kemudian disusul dengan ancaman amarah Tuhan (lihat antara lain Al-Nahl 106, Al-Nur 9, dan sebagainya), selanjutnya dengan ancaman peperangan langsung dari Tuhan (Al-Baqarah 278-279), lantas disusul dengan ancaman siksa di akhirat (Al-Furqan 68-69), dan siksa di dunia (Al-Taubah 39, dan lain-lain), dan akhirnya menjatuhkan hukuman secara pasti (seperti dalam Al-Maidah 38 dan Al-Nur 2).
Demikianlah, selayang pandang, sebagian dari ciri-ciri metode yang ditempuh Al-Quran dalam rangka pendidikan umat. Kalau butir-butir metode yang digunakan Al-Quran itu kita gunakan untuk menyoroti metodologi pendidikan nasional, khususnya pendidikan agama, maka ditemukan dalam kenyataan banyak hal yang tidak sejalan bahkan bertentangan dengan konsep tersebut.
Di atas telah digambarkan bahwa Al-Quran menuntun peserta didiknya untuk menemukan kebenaran melaui usaha peserta didik sendiri, menuntut agar materi yang disajikan diyakini kebenarannya melaui argumentasi-argumentasi logika, dan kisah-kisah yang dipaparkannya mengantarkan mereka kepada tujuan pendidikan dalam berbagai aspkenya, dan nasihat yang ditunjang panutan. Sementara pendidikan kita, khususnya dalam bidang metodologi, seringkali sangat menitikberatkan pada hapalan, dan contoh-contoh yang dipaparkan bersifat ajaib, kiasan yang dikemukakan dengan bahasa yang gersang, tidak menyentuh hati, ditambah lagi nasihat yang diberikan tidak ditunjang oleh panutan pemberinya.
Keberhasilan mencapai tujuan pendidikan nasional lebih sulit lagi dengan adanya tantangan yang besar akibat pengaruh ilmu pengetahuan empiris, rasional, materialistis, dan kuantitatif (ERMK), yang keseluruhan sistemnya dibangun atas dasar pengalaman dan dengan mudah dimengerti akal, terjangkau oleh pancaindera. Ini pada akhirnya mudah tersebar luas dan mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Melalui sistem ERMK ini, pemikiran dilatih dan pembuktian terus menerus diperdalam dengan "bahasa" yang tidak asing digunakan oleh kalangan banyak. Dapat digambarkan apa yang dapat dilakukan dengan metodologi yang ditemukan dalam kenyataan ketika menghadapi hasil sistem ERMK tersebut.
Pendidikan Sepanjang Hayat
Sifat pendidikan Al-Quran adalah "rabbniy", berdasarkan ayat pertama dalam wahyu pertama. Sementara orang yang melaksanakan juga disebut "rabbaniy" yang oleh Al-Quran dijelaskan cirinya antara lain mengajarkan kitab Allah, baik yang tertulis (Al-Quran), maupun yang tidak tertulis (alam raya), serta mempelajarinya secara terus menerus (baca QS 3:79).[9]Jangkauan yang harus dipelajari, yang demikian luas dan menyeluruh itu, tidak dapat diraih secara sempurna oleh seseorang. Namun, ia harus berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan apa yang ia mampu meraihnya. Karenanya, ia dituntut untuk terus menerus belajar. Nabi Muhammad saw., sekalipun telah mencapai puncak segala puncak, masih tetap juga diperintah untuk selalu memohon (berdoa) sambil berusaha untuk mendapatkan ilmu pengetahuan (QS 20:114).
Atas dasar itu, sangat populer apa yang oleh sementara orang dianggap sebagai hadis Nabi saw. yang berbunyi, "Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahad!" Terlepas dari benar tidaknya penisbahan ungkapan tersebut terhadap Nabi, yang jelas ia sejalan dengan konsepsi Al-Quran tentang keharusan menuntut ilmu dan memperoleh pendidikan sepanjang hayat. Ungkapan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa ide yang terdapat dalam khazanah pemikiran Islam ini mendahului "life long educatioan" yang dipopulerkan oleh Paul Lengrand dalam bukunya An Introduction to Lifelong Education. Pendidikan seumur hidup yang dikemukakannya ini tentunya tidak hanya terlaksana melalui jalur-jalur formal, tetapi juga jalur informal dan nonformal, atau dengan kata lain pendidikan yang berlangsung seumur hidup menjadi tanggung jawab bersama keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
Bahkan, lebih jauh, dapat dikatakan bahwa Al-Quran tidak hanya menekankan pentingnya belajar, tetapi juga pentingnya mengajar. Dalam surat Al-'Ashr ditegaskan bahwa semua orang merugi kecuali yang melaksanakan empat hal. Salah satunya adalah saling wasia-mewasiati (ajar-mengajar) tentang al-haqq (kebenaran). Ilmu pengetahuan adalah kebenaran. Rugilah orang yang tidak mengajarkan kebenaran yang diketahuinya.
Penutup
Apabila konsep pendidikan Al-Quran, yang secara teoretis sejalan dengan dasar-dasar pendidikan nasional yang dituangkan dalam GBHN, ingin dikaitkan dengan pembangunan nasional serta ditemukan relevansinya dalam bentuk yang berdaya guna, maka kita harus mampu menyoroti data empiris yang diperoleh dari masyarakat, sehingga dapat dirumuskan langkah-langkah yang dibutuhkan guna lebih memantapkan keberhasilan yang telah dicapai. Setiap penyajian materi pendidikan harus mampu menyentuh jiwa dan akal peserta didik, sehingga dapat mewujudkan nilai etis atau kesucian, yang merupakan nilai dasar bagi seluruh aktivitas manusia, sekaligus harus mampu melahirkan keterampilan, dalam materi yang diterimanya. Hal ini menjadi keharusan karena ia merupakan tujuan pendidikan menurut konsep Al-Quran dan GBHN.Tujuan tersebut tidak akan mungkin tercapai melalui dogma, atau tutur kata dan nasihat semata, tanpa panutan. Ia hanya dapat dicapai antara lain melalui diskusi yang melibatkan akal pikiran, tutur kata yang menyentuh jiwa, serta kisah manusia yang baik dan yang buruk, disertai dengan panutan yang baik dari pendidik.[]
Catatan Kaki
1. Bandingkan dengan Amal Hamzah Al-Marzuqiy dalam Nazhariyyat Al-Tarbiyyah Al-Islamiyyah bayn Al-Fard wa Al-Mujtama', Makkah, Syarikat Makkah, 1400 H, h. 1.2. Lihat penafsiran ayat tersebut oleh Musthafa Al-Kik dalam Bayn 'Alamain, Dar Al-Ma'arif, Kairo, 1965, h. 94.
3. Muhammad Quthb, Manhaj Al-Tarbiyyah Al-Islamiyyah, Dar Al-Syuruq, Kairo, 1400 H, Cetakan IV, Jilid I, h. 13.
4. Kata "taqwa" dalam Al-Quran mencakup segala bentuk dan tingkat kebajikan dan karenanya ia merupakan wasiat Tuhan kepada seluruh makhluk dengan berbagai tingkatnya sejak Nabi hingga orang-orang awam.
5. Lihat lebih jauh Muhammad Baqir Al-Shadr dalam Al-Madrasah Al-Qur'aniyah Al-Sunan Al-Tarikiyah fi Al-Qur'an Al-Karim, Dar Al-Ta'aruf, Beirut, 1980, h. 128.
6. Abdul Karim Al-Khatib, Qadhiyat Al-Uluhiyyat bayn Al-Din wa Al-Falsafah, Dar Al-Fikr Al-Arabiy, Kairo, 1962, Jilid I, h. 319.
7. Lihat Abdul Karim Al-Khatib, op. cit., h. 328.
8. Bandingkan dengan Muhammad Quthb, Jahiliyat Al-Qarn Al-Isyrin, Wahbah, Mesir, 1964, Cetakan I, h. 216 dst.
9. Kesinambungan tersebut dipahami dari penggunaan bentuk mudhari' (present tense) dalam redaksi ayat tersebut, yang bentuk itu diartikan oleh ahli-ahli kebahasaan sebagai menunjukkan kesinambungan peristiwa yang ditunjukkan oleh kekosakataannya.
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, halaman 172-179.
0 Response to "Konsep Pendidikan dalam Al-Quran"
Posting Komentar